Bagi saya dapat kuliah di LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) adalah suatu anugerah, sebab berat perjuangannya dan berat saingannya. Untuk dapat diterima kita harus menyisihkan lebih seribu orang untuk memperebutkan 120 bangku I’dad, ratusan orang untuk memperebutkan 80 atau 90 bangku Takmili dan juga ratusan orang untuk memperberebutkan 30 atau 40 bangku Syari’ah. Demikian pula halnya dengan Diploma.
Masuk LIPIA suatu kebanggaan ketika itu. Bagaimana tidak. LIPIA adalah satu-satunya kelas jauh Universitas Imam Ibnu Saud untuk Asia Tenggara. Mahasiswanya bukan saja dari Indonesia melainkan juga dari beberapa negara di Asia Tenggara seperti Thailand, Philipina dan Malaysia. Dosen-dosennya pun dari Timur Tengah. Ada dari Saudi, Mesir, Yordania, Pakiastan, sudan, dll. Meskipun ada orang asli Indonesia mereka alumni Timur Tengah pilihan.
Saya masih ingat tahun 1996 pertama kali saya ikut tes di LIPIA. Pada masa itu bagi saya titel Lc di belakang nama sangat bergengsi. Di Bukittinggi, ustadz-ustadz bergelar Lc begitu dikagumi. Jumlah mereka tidak banyak. Mereka punya jadwal pengajian di masjid-mesjid besar seperti masjid raya dan lainnya. Mereka juga mengajar di Aqabah. Tidak semua orang bisa mengajar di lembaga itu. Ustadz-ustadz bertitel Lc itu pandai berbahasa Arab. Ada buya Hasan Nasruddin, M.A. ada ustadz Suhairi Ilyas, M.A., Mukhtar Syari’at, Lc., Usmar Marlen (meski tidak Lc tetapi pernah kuliah di Saudi), ustadz Yusril Jamarin, Muslim Muhammad Yatim, dll.
Waktu saya nyantri di Solo ada ustadz Shalihin, Lc, Ilyas, Lc, Suwardi, Lc, ustadz Rasyidi, Lc., dan ada beberapa yang tamatan Takmili Lipia. Saya termasuk pengangum mereka. Pada tahun itu ada daurah Madinah di UIR Pekan Baru. Saya dapat informasi dari seorang ustadz murabbu guru Ponpes Haji Miskin Koto Tinggi. Kebetulan saya mengajar di situ sejak September atau Oktober 1995 s.d. Juni 1996. Saya beranikan mendaftar lewat telepon. Saya diterima atas nama Haji Miskin. Dalam Daurah tersebut keinginan saya untuk bisa kuliah di Timur Tengah begitu menggebu-gebu. Dalam beberapa kesempatan saya dan beberapa kawan berkunjung ke rumah salah seorang Syekh pelatih. Katanya, kuliahlah di Madinah, kotanya Nabi. Jika tidak mampu minimal LIPIA Jakarta.
Saya sempat ikut tes ke Madinah waktu itu. Seingat saya beberapa kawan dari pesantren Al Furqan, seperti Maududi Abdullah juga tes pada tahun itu. Ikut juga dalam daurah, Murtadha Habibi yang sekarang kabarnya jadi imam besar di Kaltek Riau. Tetapi hasilnya yang saya tunggu setelah itu menunjukkan saya gagal sebab tidak ada panggilan.
Maka, pada tahun itu saya mendaftar di dua perguruan tinggi, IAIN Imam Bonjol dan LIPIA. Di IAIN saya sempat ikut Ospek. Memang saya terlambat kuliah. Seharusnya saya kuliah tahun 1992 seleting dengan Afwan Safar Buan. Tetapi saya belum siap bersaing tes di LIPIA sebab tidak punya bekal yang cukup. Itulah sebabnya saya nyantri di Solo sampai tahin 1995 akhir. Waktu Ospek di IAIN ada seorang kawan saya perhatikan asik mengorek-ngorek di buku seperti menulis sesuatu dengan tulisan Arab. Rupanya dia sedang berlatih insyak. Belakangan saya tahu dia tamatan MAPK tahun itu dan hendak mencoba tes juga di LIPIA. Saya lupa-lupa ingat namanya. Kalau tidak salah Abudinata. Sayang dia tidak diterima di LIPIA.
Selesai Ospek saya ke Jakarta. Menginap di rumah saudara kemudian bergabung dengan kawan-kawan di Murtadho. Di situ ada Bang Arwin al-Ibrahimi. Di situlah saya dapat bimbingan meski tidak lama. Saya hafal teks fahmul masmu’. Judulnya “Asma’ binti Abi Bakr”. Ternyata soalnya sama dengan tahun lalu. Alhamdulillah saya lulus tahriri dan syafahi.
Demikianlah Allah mengizinkan saya kuliah sejak I’dad, Takmili sampai Syari’ah. Mula-mula kampus masih di Salemba Raya. Tahun 2000 kira-kira kampus pindah ke Buncit Raya. Tempat tinggalpun berpindah-pindah. Mula-mula di Mutadho, tepatnya di rumah Aziz. Kemudian di Salemba Bluntas. Ada empat rumah kami tempati. Saya juga pernah coba tinggal di asrama haji Ciliwung karena gratis. Saya Cuma betah satu malam. Soalnya panas dan pulang pergi kuliah harus naik angkot atau bis kota. Lagi pula rasa kembali tinggal di pondok. Rasanya sudah bosan. Tambah lagi kalau di asrama tidak bebas beraktifitas apalagi bagi yang palala. Saya masih ingat kamar saya berhadapan dengan kamar Oman Abdurrahman yang kemudian hari berubah haluan jadi Islam garis keras sehingga sampai hari ini menurut informasi masih menginap di Suka Miskin. Padahal dulunya yang saya tahu beliau di samping sangat cerdas juga saulah, ndak banyak laku. Beliau hafal Quran dan hadis Bulughul Maram. Setamat LIPIA beliau sempat mengajar di LIPIA Buncit, di I’dad kalau tak salah.
Semasa krisis moneter 1997 saya masih di I’dad, kemudian Takmili. Krisis moneter bagi orang lain adalah musibah tetapi berkah bagi mahasiswa LIPIA, sebab riyal semakin lama semakin laik seiring naiknya dolar. Bayangkan, 100 riyal yang mula-mula hanya Rp. 60.000,- naik berangsur-ansur sampai menembus batas Rp. 100.000,- Uang sebesar Rp. 60.000,- ,itu waktu itu sudah bisa beli mas satu emas. Iuran makan sebulan di kontrakan Rp. 40.000,- sebulan per orang. Itu bagi yang I’dad apalagi bagi yang Takmili, Syariah dan Diploma.
Sewaktu kerusuhan Mei 1998 kami tinggal di rumah kontrakan di belakang rumah kontrakan kawan-kawan dari Al Irsyad. Persisnya dekan pemakaman Murthadho. Ada Bang Adek di situ, Irwan, dll. Pada hari-hari demo dan kerusuhan saya paling hobby mengikuti berita di TV. Kebetulan ada warung di jalan depan murah. Ada TV di situ. Saya juga beberapa kali ikut masuk ke UI Salemba mendengar orasi demo dari mahasiswa. Karena kita punya kartu, maka bisa masuk.
Pada waktu hari H kerusuhan Mei itu kami sedang berada di halaman UI. Tiba-tiba pecah kerusuhan. Beberapa orang cepak menggoyang-goyang traffic light di hadapan UI. Ada polisi yang dikejar-kejar masa. Ada bakar-bakar mobil saya lihat. Anehnya, tentara yang biasanya berjaga-jaga menghilang hari itu. Semua mahasiswa waktu itu diarahkan masuk ke kampus UI. Itulah pertama kalinya saya masuk ke dalam kampus bersejarah itu. Luas rupanya. Sampai sore kami di dalam. Sebab, kabarnya bakar-bakaran tidak dilakukan oleh mahasiswa. Setelah situasi mulai reda kami ke luar pulang. Tetapi bakar-bakaran masih terjadi. Ketika melewati jembatan penyeberangan di depan rumah sakit ST. Carolus saya saksikan sendiri ada show room mobil yang konon menjual mobil Timornya Tommy Soeharto mobilnya dikeluarkan ke jalan dan dibakar.
Kampus Lipia Salemba saya perhatikan sempat dilempar batu oleh masa. Beberapa kaca saya lihat ada bekas terkena lemparan batu. Batu-batu krekel berserakan di halaman kampus. Pada hari-hari itu kuliah sempat diliburkan beberapa hari.
Pada hari Kamis, hari Soeharto melengserkan dirinya ke prabon saya dengar berita aka nada demo besar-besaran di Monas dipimpin Amin Rais. Siang itu saya ke Senen. Dari Senen saya jalan kaki sendiri ke arah masjid Istiqlal. Saya ingin tahu bagaimana suasana sebenarnya di situ. Kabar dari TV demo batal sebab tentara memagari jalan sekitar Monas dengan teng baja. Saya perhatikan jalanan sekitar monas sepi. Teng baja dan tentara berjaga-jaga di jalan. Untuk saya tidak ditangkap. Tetapi saya senang dapat melihat langsung suasana hari itu di sekitar Monas. Belakangan saya ketahui bahwa Amin Rais dicegah oleh Yusril Irza Mahendra yang waktu itu menjabat sebagai Sekretaris Presiden. Jika tidak dicegah bisa terjadi pertumpahan darah. Pada hari itulah Soeharto melengleserkan dirinya ke prabon.
Tiga setengah tahun di Salemba dan tiga setengah tahun di Buncit. Waktu kampus pindah saya masih di mustawa awwal syariah. Dengan pindahnya kampus terpaksa juga pindah kontrakan. Kami cari rumah di jalan Buncit dan dapat. Di sanalah saya satu kontrakan dengan Indra Rustam, M. Thalib, Januardi, dll. Lokal syariah kami pada angkatan itu terbilang paling sedikit. Hanya 30 orang. Tiga dari 30 itu orang Sumbar, saya sendiri, Faisal Rahman dan Januardi.
Guru-guru yang masih kami ingat ustadz Abdurrahim Thayyib, Abdullah Sattar, Jazuli Amin, Budiansyah, Dr. Daud Rasyid, Dr.Muslih Abdul Karim, Dr. Ali Addakhil, Syekh al Hammad, ustadz Qari, Dr. Salim Salamah, dll. Ada juga dosen yang tidak pernah mengajar saya di kelas tetapi selama dua tahun saya dan kawan saya Irwan belajar sekali seminggu ke rumahnya di Jatinegara. Beliau adalah Dr. Syihab An Namir dari Mesir. Beliau dosen Takmili. Beliau yang menguji syafahi waktu saya masuk Takmili, tetapi saying beliau kembali ke Mesir ketika saya sudah di Takmili. Banyak lagi dosen-dosen yang saya lupa-lupa ingat namanya.
Beberapa kawan dari Sumbar yang sempat bertemu adalah: Bang Shaleh, Bang Arwim, Bang Adek, Afwan Safar Buan, Akmal Safar Buan, Asril Rusli (alm), Januardi, Faisal Rahman, Marizem, Mulyadi Muslim, Kamrizal , M, Thalib, Indra Rustam, Saiful Ardhi, Afdhil fadhli, Ahmad Daniel, Anto Makmur, Abdul Halim, Irwan, Nuruddin parabek, Abizar Parabek, M. Syafi’i. Syafrizal Parabek, dll.
Ada pula beberapa orang yang sekarang menjadi orang terkenal yang pernah saya kenal, di antaranya Dr. Cholil Nafis, Dr. Asrorun Niam Sholeh, keduanya ketua MUI Pusat. Seingat saya beliau-beliau ini angkatan Bang Arwim atau angkatan Afwan. Ustadz Subki Al Bughury, mubaligh kondang sering muncul di TV. Saya sering melihatnya waktu saya masih tinggal di Murtadho. Beliau mungkin Cuma sampai Takmili. Juga ada pendiri Rumah Fikih Indonesia, Ahmad Sarwat, Lc., M.A. satu angkatan dengan Afwan. Beliau pernah main drama Arab waktu masih di Salemba.
Banyak kenangan selama di Jakarta. Guru-guru ada yang masih aktif di Lipia ada pula yang sudah pindah. Ada yang masih hidup tak sedikit pula yang sudah meninggal dunia. Kawan-kawan juga begitu. Ada yang di kampong ada yang di rantau. Ada yang masih hidup, ada pula yang sudah meninggal dunia. Semoga masih hidup tetap istiqamah sampai akhir hayat dalam mengemban amanah ilmu dan yang sudah mendahui kita semoga ditempatkan di tempat yang semulia-mulianya.
Yang meninggal karena covid dalam tahun ini saudara Asril Rusli, Lc., M.A. asal Paninjauan, alumni MAPK Koto Baru 1993. Adik kelas saya di Koto Baru tetapi kakak tingkat di Lipia. Beliau meninggal di Kuningan Jabar. Ada pula Pengadilan, Lc. Asal Sumut. Meninggal di Pekan Baru. Dosen yang sudah mendahului kita ustad Qari, ustadz Jazuli Amin Arrih, salah seorang penyusun kitab Qiraah Silsilah, dll. Yang saya tidak hafal lagi. ( Sungai Pua, 9 Oktober 2021)