
Masyarakat Sumatera Barat berfalsafahkan Adat basandi syarak, Syarak basandi kitabullah, Syarak mangato adat mamakai. Penanggung jawab utama dalam penerapan adat dimaksud adalah usur ampek jinih (Pangulu,Malin, Monti, dan Dubalang) dan dibantu oleh orang yang dikategorikan dengan Jinih nan Ampek (Imam, Bilal, Khatib dan Qadhi). Maka setiap kaum dan suku di Sumatera Barat harus memastikan kedelapan perangkat ini ada orangnya dan betul-betul memainkan perannya masing-masing.
Pada masa lalu pangulu dan perangkat yang lain dapat berfungsi secara optimal karena didukung oleh financial yang cukup atau ekonomi yang memadai. Jumlah anggota kaum yang belum terlalu ramai dan tanah kaum atau suku yang masih luas memungkinkan pangulu dan perangkatnya untuk fokus pada pelayanan dan pengayoman anak kemenakannya. Adapun untuk kebutuhan operasional kegiatan pangulu diambilkan dari apa yang disebut dengan “ Sawah Abuan atau Sawah Singguluang”. Sawah abuan atau sawah singgulang atau yang sejenisnya pada dasarnya adalah asset wakaf kaum atau suku yang dikelola oleh kemenakan pangulu dan hasilnya dijadikan sebagai operasional pangulu dan perangkatnya. Dengan demikian pangulu terhormat ditengah-tengah kaumnya ataupun di tengah-tengah masyarakat banyak.
Seiring dengan perjalanan waktu, jumlah anggota kaum yang terus bertambah, kebutuhan hidup meningkat dan kondisi sawah abuan ataupun sawah singgulang tidak produktif, ditambah lagi pangulu dan anggota perangkatnya tidak memiliki pekerjaan tetap, sehingga kebutuhan ekonomi keluarganya tidak terpenuhi. Akibat dari itu semua adalah rendahnya pelayanan pangulu dan perangkatnya kepada keponakan. Atau pelayanan yang diberikan harus diimbangi dengan operasional dari keponakan secara langsung, tetapi efeknya adalah marwah pangulu menjadi rendah dimata keponakannya.
Untuk mengembalikan peran pangulu dan perangkatnya dalam pelayanan kepada keponakannya dalam penerapan ABS-SBK di Sumatera Barat, harus ada terobosan sebagai alternative pengganti fungsi sawah abuan atau sawah singgulang dimaksud. Dalam konsep Islam ada konsep “Wakaf Ahliah” atau wakaf keluarga. Konsep ini sangat mungkin diterapkan untuk kondisi kekinian dan kedisinisan (di Sumatera Barat) dengan basis kaum atau suku.
Terobosan itu harus dimulai dari kesepakatan atau sakato kaum bersama pangulunya bagaimana menghadirkan sawah abuan atau sawah singguluang abad 21. Sakota kaum dimaksud dimulai dengan penguatan wawasan pentingnya ABS-SBK diberikan kepada anak kemenakan dan untuk kegiatan yang berkelanjutan membutuhkan biaya operasional yang cukup, maka langkah-langkah adalah sebagai berikut :
Pertama, Mensertifikatkan tanah ulayat kaum atau suku atas nama kaum atau suku, sehingga tanah yang sudah bersertifikat dimaksud bias disewa oleh perusahaan dalam waktu yang relative cukup, misalnya untuk waktu 10 samapi 20 tahun. Dengan demikian kaum atau suku punya kas atau dana operasional yang memadai. Kedua, Tukar guling tanah kaum atau suku yang tidak lagi produktif dengan lokasi yang produktif, sehingga menghasilkan pendapatan
Ketiga, Menjual tanah atau sawah abuan yang tidak produktif dan menggantinya dengan took yang bisa disewa oleh keponakan ataupun orang lain, sehingga hasil seswa atau kontraknya bisa menjadi operasional pangulu dan perangkatnya. Keempat, Tanah ataupun sawah abuang penggati supaya lebih aman dirubah statusnya menjadi wakaf kaum atau suku yang nazhirnya adalah pangulu dan perangkatnya sehingga kekhawatiran tanah atau sawah abuan yang lama ataupun yang baru dikuasai secara pribadi oleh pangulu dan dapat dijual bias diantisisipasi sejak dini, karena tanah, sawah ataupun asset kaum lainnya yang sudah berstatus wakaf tidak dapat diperjual belikan, tetapi bias dikelola secara professional sehingga menguntungkan dan menghasilkan uang yang dapat digunakan untuk operasional anak keponakan.
Ide atau wacana mewakafkan tanah atau sawah abuan dan bahkan pusako tinggi kaum atau suku sebenarnya sangat sejalan dengan konsep ABS-SBK dalam bidang pemberdayaan ekonomi khususnya bidang wakaf produktif. Namun seringkali konsep yang ideal terkendala dalam penerapannya karena disebabkan oleh kurang atau lemahnya pemahaman anggota kaum ataupun pangulu dan perangkatnya itu sendiri. Oleh karenanya sosialisasi secara optimal adalah kunci utama dalam merealisasikannya. Pepatah adatpun juga mengajarkannya begitu, semua unsure ada gunanya, maka perlu diajak untuk terlibat aktif. “Sadonya paguno, mako paralu dibawo sato”, bulek aie dek pambuluah bulek kato dek mufakat, ringan samo dijinjiang, barek samo dipikua, indak ado kusuik nan indak salasai dengan musyawarah dan mufakat. (Pangulu Kaum Salo Suku IV Niniak)