
Padang, Babarito
Cerita “Robohnya Surau Kami” seperti yang ditulis oleh A.A Navis hari ini bukan lagi cerita fiksi. Tetapi sudah jadi kenyataan dalam versi yang berbeda. Niat awalnya mungkin bagus, bahwa dalam rangka pendataan, adanya peluang bantuan dari pemerintah Kota/Kabupaten maka surau yang awalnya milik kaum atau suku diubah statusnya menjadi mushalla atau bahkan masjid dengan kepengurusan yang lebih besar dari beragam kaum atau suku.
“Tapi inilah awal robohnya surau tersebut. Secara budaya anak Minangkabau mulai asing dengan terminologi surau. Mereka hanya kenal dengan istilah musholla dan masjid,” kata H Mulyadi Muslim Lc MA saat menjadi narasumber Orientasi Peningkatan Kapasitas Lembaga Adat Angkatan VIII tahun 2021 yang digelar Badan Pemberdayaan Masyarakat (BPM) Provinsi Sumbar, Rabu (6/10).

Dalam orientasi dengan tema “Melalui Orientasi Peningkatan Kapasitas Lembaga Adat, Kita Perkuat Lembaga adat dan Masyarakat Hukum dan Adat” di Imelda Hotel Padang itu, Mulyadi menyebut, yang lebih tragis adalah pengurus masjid atau mushalla tidak melanjutkan fungsi surau masa lalu di masjid atau mushalla yang dikelola.
“Babaliak ka nagari atau basurau, idealnya setiap kaum atau suku memang punya surau. Sehingga malin atau urang jinih nan ampek (imam, bilal, khatib dan qadhi) bisa memainkan peran penanaman nilai-nilai ABS-SBK (adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah) bagi anak kemenakannya,” sebut Sekretaris MUI Kota Padang ini.
Tapi, katanya, jika tidak memungkinan lagi untuk mendirikan surau per kaum atau suku, karena tanah yang tidak tersedia lagi, maka mushalla atau masjid yang megah hari ini harus mengambil alih fungsi surau masa lalu atau masjid pada masa Rasulullah SAW.
“Masjid pada masa rasul adalah pusat peradaban dengan segala dimensinya. Masjid tidak sekadar tempat ibadah mahdoh semata. Orang Minang masa lalu telah mewariskan keteladanan dari Rasul SAW. Surau difungsikan minimal untuk belajar mengkaji agama, belajar adat, belajar silat dan juga muamalat (ilmu berdagang). Sebelum pemuda Minang mempraktekkannya di pasar yang ada dekat masjid serta merantau,” katanya.
Menurut Mulyadi, surau juga tempat tidurnya laki-laki ketika sudah remaja. Empat fungsi ini mesti dihidupkan kembali oleh pengurus masjid, habiskan infak yang terkumpul untuk kegiatan yang bermanfaat untuk generasi muda. “Jangan tiap sebentar membangun fisik masjid, masyarakat pun perlu menyadari bahwa infak untuk pendidikan juga akan senantiasa mengalir pahalanya seperti pahala berwakaf dalam bentuk fisik,” katanya. (edt)