Setelah Mahyeldi dilantik sebagai Gubernur Sumbar, posisi Mahyeldi sebagai Wali Kota Padang digantikan oleh Hendri Septa, dan sudah dilantik sebagai Wali Kota Padang definitif. Namun posisi lama Hendri Septa sebagai Wawako belum ada yg menggantikan.
Masyarakat kota Padang dan publik saat ini sudah ramai bertanya-tanya siapa yg akan menjadi Wakil Wali Kota Padang. Menurut Peraturan perundang-undangan Calon Wakil Walikota Padang diajukan oleh partai pengusung yaitu PKS dan PAN yangg nanti akan dipilih oleh DPRD kota Padang.
Secara logika dan etika politik, karena Hendri Septa yang dilantik sebagai Walikota pengganti Mahyeldi adalah representasi dari PAN yang saat ini menjabat sebagai ketua DPD PAN Kota Padang, maka semestinya jika dilihat dari aspek kepatutan, representasi dan keadilan, maka Wakil Walikota nya adalah dari PKS sebagai pengganti Mahyeldi. Apalagi posisi Hendri bisa naik sebagai Walikota karena Mahyeldi terpilih sebagai Gubernur bukan karena kompetisi politik dalam Pilkada.
Banyak pengamat dan masyarakat yang menilai dan beranggapan demikian. Apalagi kontribusi Mahyeldi sebagai Wali Kota 2 Periode di kota Padang cukup positif. Dan masyarakat kota Padang mengetahui bahwa Mahyeldi adalah kader PKS yg saat ini menjabat sebagai Gubernur Sumbar.
Namun beredar berita dan isu di publik bahwa ternyata dari PAN sendiri juga menginginkan posisi Wakil Wali Kota Padang tersebut. Bahkan ada wacana untuk meninggalkan dan “mengerjai” PKS sebagai mana kejadian di DKI Jakarta. Dimana posisi Wakil gubernur yang awalnya dijanjikan untuk PKS ternyata akhirnya diambil juga oleh Gerindra.
Lalu apa efeknya jika PKS ditinggalkan dan “dikerjai” di kota Padang, sehingga nanti kedua posisi jabatan publik yaitu Walikota dan Wakil Walikota Padang yang awalnya diperjuangkan dan diraih bersama-sama PKS dan PAN namun akhirnya hanya dikuasai oleh PAN sendirian tanpa adanya koalisi atau sharing of power?
Menurut analisa penulis akan ada beberapa efek negatif bagi kota Padang sendiri, bagi Hendri Septa sebagai Wali Kota saat ini dan pada PAN sebagai partai politik.
Pertama, bagi Kota Padang efeknya adalah terancam tidak/kurang terealisasinya progam kerja unggulan yg menjadi janji politik Mahyeldi Hendri Septa dulu ketika akan maju sebagai Cawako dan Cawawako, karena kalau PKS ditinggalkan tentu hanya PAN sendirian yg bekerja utk mewujudkan komitmen politik tersebut.
Tentunya akan lebih sulit berkerja sendiri, tanpa didukung oleh mitra koalisi. Dukungan di DPRD kota Padang juga akan semakin menipis, karena secara faktualnya suara PAN hanya 7 kursi di DPRD kota Padang. Jika PKS ditinggalkan maka 9 kursi yang dimiliki PKS otomatis akan menjadi oposisi bagi PAN. Sedangkan dukungan yg dijanjikan oleh partai lain masih bersifat semu dan baru sebatas janji-janji politik, yang kesannya adalah untuk mengadu domba dan membenturkan antara PAN dan PKS. Atau memecah koalisi antara PAN dan PKS. Jadi pada hakikatnya ketika PKS ditinggalkan maka yang rugi bukan hanya PKS tapi PAN sendiri akan dirugikan.
PAN dan Hendri Septa sendirian akan menjadi fokus sasaran tembak, jika seandainya terjadi persoalan dan masalah dalam kebijakan pembangunan di kota Padang. Jika terjadi masalah apa-apadi kota Padang maka yang akan disalahkan oleh publik adalah Hendri Septa dan PAN saja. Sebaliknya jika berhasil memang akan telihat seperti kerja sendirian PAN dan Hendri Septa, tapi hal tersebut masih spekulasi dan cenderung bermain api.
Kedua, bagi Hendri Septa efek negatifnya kehilangan mitra tandem baik secara publik maupun politis di DPRD maupun di mata publik. Kebijakan-kebijakan Hendri tentu akan didukung utamanya oleh PAN saja, jika ingin mendapatkan dukungan dari partai lain tentu harus ada deal2 dan transaksi politik baru yang dibuat, tentu akan mengurangi dan mengganggu konsentrasi Hendri utk fokus dalam merealisasikan janji politik nya ketika Pilkada Padang 2018 yang lalu dan membuat prestasi agar bisa dipilih kembali.
Beban politik untuk melaksanan visi dan misi yang mereka buat ketika Pilkada sekarang hanya tertumpu pada Hendri dan PAN saja, walau secara fungsional akan berbagi dengan kader PAN yg juga sebagai Wakil Wali Kota.
Dimata publik, bisa menilai dan terkesan Hendri dan PAN meninggalkan dan tidak komitmen dgn mitra koalisinya yang ikut berjasa secara real menjadi kannya sebagai Wakil Wali Kota dan WaliKota Padang definitif.
Padahal secara kalkulasi politik, Presiden Incumbent Jokowi saja dan partai pemenang pemilu yaitu PDI-P masih merangkul semua partai politik dan tokoh-tokoh politik dan publik utk memperkuat posisi nya di pemerintahan dan kebijakan publik. Bahkan lawannya sendiri dalam pilpres dan pileg yaitu Prabowo dan Gerindra masih dirangkul utk masuk dalam pemerintahan. Tentu hal ini akan berbanding terbalik jika Hendri dan PAN justru meninggalkan mitra koalisinya dalam Pilkada kemarin.
Apalagi kota Padang termasuk basis PKS. Banyak kader PKS di Kota Padang. Dan Banyak juga masyarakat kota Padang yg menjadi pendukung PKS. Bahkan PKS pernah menjadi partai pemenang pemilu tahun 2004 di kota Padang. Dalam pileg 2019 kemarin suara PKS juga diatas PAN di Kota Padang.
Artinya jika Hendri dan PAN meninggalkan PKS dalam menjalankan pemerintahan maka dukungan sebagian besar masyarakat kota Padang dalam menjalankan pemerintahan Otomatis akan semakin berkurang. Tingkat resistensi dari kader-kader PKS dan masyarakat kota Padang yg menjadi pendukung PKS akan semakin tinggi. Kader-kader PKS dan relawan di grassroots (aka rumput) yang berjuang mati Matian memenangkan pasangan Mahyeldi dan Hendri Septa dlam Pilkada kemarin akan merasa tersakiti dan dikhianati. Maka tentu akan bisa menjadi isu Politik negatif yang bisa dieskalasi bagi Hendri jika ingin maju dalam Pilkada 2024 nanti.
Pintu PKS otomatis akan tertutup untuk Hendri baik dalam jangka pendek ataupun jangka panjang. Padahal tidak tertutup kemungkinan Hendri Septa kembali akan didukung oleh PKS dalam pilkada 2024 nanti, jika harmonis dalam koalisi bersama PKS dan Wakil yg diusung PKS. Semestinya deal dan syarat itu yg coba dibuat dan diajukan Hendri dgn PKS saat ini. Jika mendukung atau memilih Cawawako dari PKS saat ini, maka untuk periode kedua PKS siap pula mendukung Hendri utk Pilkada 2024.
Dan PKS dikenal oleh publik sebagai partai yang memegang komitmen dan janji politiknya. Sering PKS yang dikhianati mitra koalisi dan jarang sekali/tidak ada PKS yang mengkhianati dan mengerjai mitra koalisinya. Ibaratnya dalam pandangan pengamat politik, PKS sebagai partai berbasis masa Islam sebagai salah satu partai yang konsisten dalam memegang fatsoen atau etika politik. Sesuai dgn nilai-nilai Islam yang menjadi dasarnya.
Ketiga, bagi PAN sendiri jika bersikeras untuk tidak sharing of power dengan PKS, ingin menguasai posisi walikota dan wakil walikota Padang yang notabenenya diusung oleh 2 partai yaitu PKS dan PAN, maka tentu publik bisa menganggap PAN sebagai partai yg haus akan kekuasaan. Padahal kemenangan dalam Pilkada kota Padang kemarin adalah kerja dan perjuangan bersama antara PKS dan PAN. Bahkan Mahyeldi yang sebagai Incumbent, jelas lebih dikenal publik dimana tingkat popularitas dan elektabilitas nya sebagai Cawako kemarin yg lebih tinggi dibanding kan calon lain, yang dilihat dari hasil-hasil survei dan riset politik Sebelum Pilkada dan terbukti ketika Pilkada. Bahkan ketika maju sebagai calon Gubernur pun Mahyeldi juga dipilih oleh rakyat Sumbar.
Artinya faktor utama Mahyeldi sebagai incumbent dan kader PKS menjadi magnet politik yang kuat dan menjadi faktor penentu utama kemenangan dalam pilkada Kemarin. Tentu hal ini tidak boleh diabaikan begitu saja dengan meninggalkan dan mengerjai PKS dalam pemilihan Wakil Wali Kota Padang nantinya.
Kekhawatiran PAN jika PKS dan kadernya akan menjadi kompetitor politik nantinya dalam pikada 2024, semestinya tidak begitu signifikan. Karena bagaimanapun posisi Wali Kota jauh lebih powerfull dibandingkan Wawako. Tentu untuk kebijakan maupun ke masyarakat posisi Wali Kota jauh lebih strategis dan lebih berpeluang utk menang jika seandainya pun terjadi pecah kongsi pada Pilkada 2024.
Pertanyaannya sejauh mana kepercayaan diri Hendri dan PAN menatap Pilkada 2024 dalam bersaing secara fair dengan calon-calon lainnya? Sebagaimana kepercayaan diri Mahyeldi ketika periode pertama yang akhirnya berhadapan dengan wakilnya sendiri yaitu Emzalmi dalam Pilkada 2018 kemarin. Terbukti justru mahyeldi sebagai incumbent kepala daerah yang menang. Bahkan menang telak meskipun Emzalmi dan Desri Ayunda waktu itu mayoritas didukung oleh semua partai politik, termasuk partai besar seperti Golkar, Gerindra, Demokrat dan lainnya, kecuali PKS dan PAN saja.
Tapi jika akhirnya pun apa yang menjadi isu di publik yang saat ini gonjang-ganjing terbukti, memang PKS ditinggalkan dan dikerjai dalam pemilihan Cawawako Padang, maka ini tentu akan menjadi energi yang lebih besar bagi kader2, pendukung dan relawan PKS yg merasa dikhianati dan ditinggalkan untuk berjuang merebut kembali posisi Wali Kota Padang pada Periode 2024. Artinya jika tidak bisa menjadi kawan yang baik tentu akan menjadi lawan yang tangguh.
Tentu hal ini perlu menjadi pertimbangan yang komprehensif bagi Hendri sebagai Walikota saat ini yang akan menjalankan tanggungjawab nya, maupun PAN sebagai partai pengusungnya. Harus ada hitung hitungan yg cermat apakah akan merangkul PKS atau meninggalkan PKS di Kota Padang. Semua kebijakan pasti ada risiko dan efek negatifnya.
Menurut hemat penulis, alangkah baiknya Hendri Septa sebagai politisi muda yang baru naik daun dan berkembang, mampu menjaga citra, nama baik, jiwa kepemimpinan dan kenegarawanannya, dengan tidak meninggalkan mitra koalisi nya. Karena banyak kejadian tokoh politik yang salah dalam mengambil sikap politik seperti tidak mampu mengendalikan statement dan sikap politiknya yg menimbulkan kontroversi akhirnya tenggelam dan susah untuk bangkit kembali karena publik sudah terlanjur menjustifikasi dan menilainya negatif. Maka bagi para politikus menjaga citra dan kinerja adalah kunci agar tetap bisa dipilih dan berumur panjang dalam dunia politik. Wallahu alam bishshawab. (*)