
Mungkin banyak yang heran.. kenapa aku cendrung menepi dari hingar bingar politik hari-hari ini. Kalau ada yang bertanya..
‘Kok ga pernah pasang2 foto buya?
Aku jawab : Aku tau Buya ku tak punya ambisi untuk ini. Akupun tak pernah punya ambisi jadi seperti ini. Aku ingin jadi penonton saja. Menikmati riuh dari sudut kamar rumah kontrakan kami di pinggiran kota dingin Padang Panjang.
Belasan tahun sudah, Buyaku terjun langsung dalam Pemerintahan. Belasan tahun yang jatuh bangun. Belasan tahun juga, aku melihat Buya bermetamorfosa dari Buya yang dulu, menjadi Buya yang sekarang.
Aku sebagai anak sulung, kadang tak begitu kebal menanggapi bahasa-bahasa sindiran dari orang-orang di sosial media. Aku tak cukup kuat, jika ada orang yang ku kenal menjelek-jelekkan namanya. Mataku bahkan sulit terpejam, jika aku tau kondisinya. Entah lupa makan, atau kelelahan.
Aku memilih jadi penonton setia. Berempat-empat menyaksikan hari-hari yang dilaluinya. Melalui unggahan instagramnya, atau kiriman foto atau video tiba-tiba di group keluarga.
Kadang, jika malam pikiranku berkelana.. sehabis subuh ku telpon Buya. Sekedar memastikan keadaannya, atau menanyakan hari-harinya. Mendengar suaranya yang menggelegar, tak lupa memastikan kesehatannya. Aku suka mendengar suaranya, atau sedikit berbalas pesan melalui WA.
Aku, punya kebanggaan luar biasa padanya.
Sebagai anak pertama, aku melihat buya sebagai sosok idola. Ya, idola. Aku kadang terlihat seperti fans fanatik yang bersedia mengejar dimana posisinya. Ku ajak abang dan anak-anak bergegas. Demi berjumpa, barang semenit duamenit, sepuluh menit.
Teramat banyak hal yang ku teladani.
Sebagai Buya, orang tuaku. Buya adalah orang paling supportif dan apresiatif. Ia tak segan menghubungi untuk meminta tolong mengerjakan ini itu, lalu diujung waktu saat aku melaporkan telah melakukannya.. ia akan mengirim pesan padaku “trimakasih ya din..” . Ia pula yang selalu memupuk mimpi2 ku.
Tak bosan tiap saat bertanya, yuk kapan sekolah lagi? Tidak hanya padaku, tapi juga pada suamiku.
Sebagai anak sulung dari nenek dan kakekku. Buya adalah anak yang luar biasa. Seletih apapun badannya, jika nenek atau inyik yang menelpon waktu dan jarak tak jadi soal. Sejauh apapun perjalanan ia tempuh, pulang ke kampungnya. Teringat abang, yang melakukan hal yang sama pada Mama. Persis seperti itu. Tak pernah melawan, kesayangan.
Sebagai suami, aku melihat Buya dan Umi adalah sepasang sejoli yang solid. Saling mendukung dan saling membutuhkan, walau kadang tak dalam satu ruangan. Buya dimana, Umi dimana. Saat Umi belum pulang, ia akan membuat kami menelpon Umi karena tak tega melihat Buya mati gaya sendirian. Maka kubujuk Umi agar segera pulang.
Sebagai pemimpin, ia selalu tenang. Pandai membawakan diri. Sepedas apapun lidah dan perkataan orang lain, ia masih bisa tersenyum. Sekasar apapun makian yang di lontarkan, sabarnya tak habis.
Sebagai Inyik dari cucu-cucunya, bagai melihat Ironman di tv ketika melihat spanduk, baliho apapun yang bertebaran di sisi jalan. Inyik.. Inyik.. teriak mereka histeris.
Tak habis-habis poster Inyik di kiri kanan jalan, sejak anak pertama dan sekarang anak kedua ku pandai berbicara. Time flies, but Inyik still berjuang.
Jihad lagi, jihad terus.
Mungkin begitu slogannya.
Tak habis-habis rasanya perjuangan. Baru kemarin rasanya aku melihat lelahnya, dan sekarang perjuangannya kembali berkobar dalam medan yang lebih luas. Lebih besar, lebuh jauh dan tentu saja lebih melelahkan.
Tapi, Buyaku tak pernah surut. Ia tak pernah mengatakan lelah.
Aku hanya meminta, mohon do’akan mereka sehat dan kuat dimanapun berada. ALLAH panjangkan umurnya, sungguh aku sebagai anak belum membalas jasa apa-apa pada mereka. Jadi aku memohon waktu pada Nya, aku ingin bisa membuat bangga.
Dari ku, sulung melow yang menemani hari-hari Buya kemana-mana dengan motor Glmax bututnya yang kemudian di curi orang belasan tahun lalu. (*)