
Oleh Miko Kamal
(Pengamat Hukum dan Kebijakan Publik)
Hari pemilihan kepala daerah (Pilkada) semakin dekat. Tinggal 2 bulan lebih sedikit. Sekarang dalam masa kampanye. Para pasangan calon dan tim sedang bekerja keras meyakinkan pemilih. Setiap mereka sedang menggambar harapan; tanggal 9 Desember, sebagian besar rakyat menjatuhkan pilihan kepada mereka.
Berbagai ragam cara dilakukan, agar harapan mereka menjadi nyata. Ada yang melakukan cara-cara konvensional. Ada pula yang kreatif. Ada yang halal, dan ada pula yang haram (terlarang).
Sejak sekitar 4 minggu belakangan, ada pasangan calon dan timnya melakukan cara tidak pantas. Beras berkantong-kantong disebarkan kepada masyarakat di beberapa Kabupaten/Kota. Masif. Kantong beras disablon foto kedua calon. Informasi itu beredar di berbagai flatform media sosial. Sudah bergelanggang di mata orang banyak.
Kabar yang saya terima, setiap masyarakat yang menerima beras diambil gambarnya. Kartu tanda penduduk (KTP) dan kartu keluarga (KK) mereka juga difoto oleh orang-orang yang membagikan beras. Nampaknya, foto diri penerima dan foto KTP serta KK penting sebagai bukti bahwa misi pembagian sudah selesai.
Money Politic
Membagi-bagi beras secara masif menjelang Pilkada terkategori sebagai politik uang (money politic). Terlarang dan/atau melanggar hukum.
Hal itu diatur secara tegas dan jelas di dalam Undang Undang No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota. UU ini merupakan perubahan kedua atas UU No. Tahun 2015. Bunyinya: “Calon dan/atau Tim Kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi penyelenggara pemilihan dan/atau pemilih” (Pasal 73 ayat 1).
Larangan itu diulang lagi dalam Pasal 71 ayat (1) Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No. 4 Tahun 2017 tentang Kampanye Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan/atau Walikota dan Wakil Walikota.
Dari kedua regulasi itu, beras masuk ke dalam frasa “materi lainnya”. Dan pemberian itu sangat pantas diduga sebagai upaya mempengaruhi pemilih karena diberikan pada musim Pilkada.
Menurut saya, delik money politic dalam kasus bagi-bagi beras tidak tergantung pada fakta apakah beras tersebut dibagikan sebelum ataupun setelah penetapan calon. Sebab, yang harus dipahami, basis filosofis dari pasal tersebut adalah untuk mewujudkan kontestasi pemilihan kepala daerah yang bebas, jujur dan adil. Ujungnya terpilih kepala daerah yang berintegritas baik. Jadi, sepanjang yang membagi-bagi beras tersebut sudah ditetapkan sebagai calon oleh KPU, mereka dapat dijerat dengan Pasal 73 ayat (1) UU No. 10/2016 jo Pasal 71 ayat (1) PKPU No. 4/2017; dibatalkan pencalonannya.
Dua Hukuman
Konsekuensi hukum bagi-bagi beras sangat besar dan penting. Calon yang terbukti melakukannya dapat dibatalkan pencalonan mereka oleh KPU. Habis buah kalau sudah begitu. Sudahlah uang habis pembeli beras, pencalonan dibatalkan pula. Dan ancaman pidana juga menunggu.
Mekanisme penjatuhan sanksi administratif pembatalan calon tunduk kepada Peraturan Badan Pengawas Pemilu (Perbawaslu) No. 9/2020 tentang Tatacara Penanganan Pelanggaran Administrasi Pemilihan Secara Terstruktur Sistimatis dan Masif. Pelapornya bisa masyarakat biasa, pemantau pemilihan, peserta pemilihan, tim kampanye peserta pemilihan yang didaftarkan dan bawaslu kabupaten/kota.
Di samping hukuman adiministrasi dan pidana, hukuman politik juga sangat terbuka dijatuhkan kepada pasangan calon pembagi-bagi beras itu. Hukuman politiknya, jangan pilih mereka pada tanggal 9 Desember 2020 nanti.
Sekeras itu? Ya. Sebab, aksi itu melanggar salah satu asas Pilkada; asas bebas. Aksi bagi-bagi beras patut diduga bermaksud menelikung kebebasan masyarakat menggunakan hak pilih mereka. Setelah menerima 5 kg beras dengan KTP dan KK difoto, kebebasan masyarakat memilih terganggu.
Cara ini sangat tidak pantas dan memalukan. Seharusnya setiap pasangan calon dan tim pemenangan memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat tentang mengapa masyarakat layak memilih mereka. Untuk itu, menjual visi, misi dan rencana program kerja kepada masayarakat adalah yang seharusnya dilakukan semua pasangan calon dan tim sukses. Bukan menghina masyarakat dengan membangi-bagikan 5 kg beras.
Mengikut alur hukum positif tentang mekanisme penyelesaian delik money politic bagi-bagi beras, mari kita tunggu aksi nyata Bawaslu Kabupaten/Kota, pemantau pemilihan atau siapa saja membuat laporan dan Bawaslu Provinsi melakukan proses hukum atas laporan itu. Masyarakat, dari sekarang, sudah boleh bersiap-siap menjatuhkan hukuman politik.
Kedua hukuman itu, semata-mata untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan ikhtiar kita semua untuk memilih kepala daerah yang berintegritas. Tidak ada yang lain.
— habis —