
Oleh Taufik Ismed (Pemerhati Sosial Politik)
Bagi yang suka menonton film-film hollywood tentu akrab dengan badan intelijen milik Amerika Serikat yaitu Central Inteligence Agency (CIA). Di mana CIA ditampilkan dengan aksi-aksi yang menakjubkan dengan kelengkapan teknologi yang canggih. Indonesia juga punya lembaga intelijen, yang kita kenal dengan BIN atau Badan Intelijen Negara. Tapi tahukah anda, dalam perjalanan sejarahnya BIN pernah dilatih oleh CIA?
Dilansir dari laman resmi BIN, badan intelijen pertama di Indonesia dibentuk pasca-proklamasi kemerdekaan yang dinamakan Badan Istimewa (BI). Kolonel Zulkifli Lubis memimpin lembaga ini bersama sekitar 40 mantan tentara Pembela Tanah Air (Peta) yang menjadi penyelidik militer khusus.
Lembaga intelijen tersebut terus mengalami transformasi. Pada awal tahun 1952, menjadi Badan Informasi Staf Angkatan Perang (BISAP). Pada tahun yang sama, mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta dan mantan Menhan Sri Sultan Hamengku Buwono IX menerima tawaran Central Intelligence Agency (CIA) Amerika Serikat untuk melatih calon-calon intel Indonesia di Pulau Saipan, Filipina. Lalu seterusnya menjadi Badan Koordinasi Intelijen (BKI), Badan Pusat Intelijen (BPI), Komando Intelijen Negara (KIN), Badan Koordinasi Intelijen Negara (Bakin), dan tahun 2000, Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengubah Bakin menjadi Badan Intelijen Negara (BIN) sampai sekarang.
Beberapa hari ini BIN memang santer di pemberitaan. Hal itu mencuat setelah Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan Perpres Nomor 73 Tahun 2020 tentang Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam). Sebelumnya, BIN berkordinasi langsung kepada Menkopolhukam. Namun, dengan ditandatanginya perpres tersebut BIN kembali berada di bawah presiden langsung. Berbeda dengan perpres sebelumnya, Perpres Nomor 43 Tahun 2015. Hal itu pun sejurus dengan profil BIN bila dilihat pada laman resminya, yakni BIN hanya melayani single client, yaitu Presiden.
Menurut pakar hukum tata negara Refly Harun dalam akun youtubenya, ada dua perspektif yang dapat dilihat. Yaitu perspektif hukum dan non-hukum. Dalam perspektif hukum, presiden sah-sah saja membuat aturan tersebut. Hal tersebut bersifat teknis dan tidak diatur dalam UUD maupun Undang-Undang.
Namun, dalam perpekstif non-hukum, banyak hal menarik yang dapat dilihat. Di antaranya sosok kepemimpinan yang ada pada BIN. Ketua BIN Budi Gunawan memang diketahui sangat dekat dengan the ruling party. Ini soal kepercayaan. Partai penguasa akan merasa lebih aman jika BIN langsung berada di bawah presiden.
Kondisi pandemi dan pilkada serentak Desember nanti juga bisa memiliki korelasi dengan kembalinya BIN di bawah presiden. Diketahui kondisi ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja, apalagi setelah ancaman pandemi covid-19 ini. Pihak opisisi ataupun kelompok yang memang tidak suka dengan Jokowi akan mendapatkan peluru yang manjur untuk menggoyahkan pemerintah Jokowi. Jokowi perlu mengamankan hal tersebut. Dengan beradanya BIN di bawah presiden, presiden langsung tahu dinamika sosial politik yang mempengaruhi pemerintahannya.
Juga dalam hal Pilkada. Jangan sampai pada saat kondisi berat seperti sekarang, hadir pemimpin-pemimpin daerah baru yang merunyamkan pemerintah pusat.
Walaupun kita tidak akan pernah tahu bagaimana sebenarnya aktivitas intelijen tersebut. Sebagai rakyat yang tak punya tangan yang bisa menjangkau kekuasaan, kita selalu berharap segala aset pemerintahan bisa digunakan sebaik-baiknya untuk keamanan dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. (*)