Padang, Babarito
Menjadi korban salah tangkap yang dilakukan oleh oknum Polres Solok Selatan pada 19 Maret yang lalu, Panut Ardianto (19) warga Tubo, Taratak Tinggi, Nagari Luak Kapau Alam, Kecamatan Pauh Duo, Kabupaten Solok Selatan melaporkan kejadiannya yang menimpanya tersebut ke Polda Sumbar, Senin (13/4) sekitar pukul 11.00 WIB.
Selain melaporkan dirinya yang menjadi korban salah tangkap, Panut juga menyebutkan dirinya menjadi korban tembak yang dilakukan oleh oknum Polres Solsel karena dituduh melakukan tindak pidana pencurian sepeda motor (curanmor).
Panut yang ditemui di Polda Sumbar saat melaporkan kejadian tersebut mengatakan, ia sempat dipukuli dan ditembak pada betis kakinya sebelah kanan saat diinterogasi terkait kasus dugaan pencurian sepeda motor yang disangkakan kepadanya.
“Setelah kaki saya ditembak dan saya tidak terbukti melakukan pencurian yang menurut oknum polisi terjadi tanggal 18 Maret 2019 di kawasan SMP Negeri 14 Sungai Lambai, Kecamatan Sangir Kabupaten Solok Selatan, saya kemudian disembunyikan di sebuah rumah yang berada di dekat Polres Solsel,” ujar Panut.
Dikatakannya, selama kurang lebih 19 hari ia dikurung di salah satu rumah dekat Polres Solsel tersebut sembari menunggu pemulihan betis kaki yang ditembak tersebut. “Kemudian pada Rabu (8/4) setelah dilepas, saya diancam oleh oknum polisi agar tidak boleh membicarakan pada orang lain bahwa ditembak dan meminta saya untuk memberitahu orang kaki saya bisulan,” terang Panut yang mengaku masih merasakan nyeri di bagian betis yang kena tembak tersebut.
Sementara itu Ismail Novendra yang merupakan pimpinan redaksi Jejak Media Grup (JMG) yang mendampingi Panut Ardianto malaporkan kejadian tersebut menyebutkan, awalnya Panut tidak berani untuk menceritakan kejadian tersebut karena mengaku diancam oleh oknum polisi Polres Solsel. Namun setelah dipaksa akhirnya ia menceritakan kepada pihak keluarga.
“Untuk mencari keadilan, pihak kelurga korban memberikan kuasa dan diketahui pihak keluarga korban disaksikan Pj. Walinagari memberikan kuasa kepada DPC KPK Tipikor Solsel dan Tim untuk melaporkan dugaan salah tangkap oleh oknum Polres Solok Selatan pada Propam Polda Sumbar yang telah diterima Propam Polda Sumbar pada Senin (13/4),” ungkap Ismail.
Dikatakan oleh Ismail, berdasarkan keterangan Ketua DPC KPK Tipikor, dia prihatin atas nasib warganya yang menjadi korban salah tangkap dan penganiyaan yang dilakukan oknum anggota polisi dari Polres Solsel.
“Kami membuat pelaporan ke Propam Polda Sumbar yang di terima oleh Aipda. Safrianto dengan nomor : STPL/24/lV/2020/YANDUAN yang intinya melakukan pengaduan atas dugaan ketidakprofesionalan dan arogansi yang dilakukan oleh oknum Polres Solok Selatan,” ujarnya.
Dijelaskan oleh Ismail lagi, berdasarkan keterangan orang tua angkat korban bernama Supito (45) mengatakan, saat kejadian pencurian pada 18 Maret seperti yang disebutkan oleh oknum polisi, anaknya tersebut sedang bekerja dicladang tetangganya bernama Sadin dengan mengangkut pupuk.
“Tanggal 19 Maret, Panut kembali bekerja di ladang Sadin dengan menguliti kulit manis yang ada di ladang tersebut. Baru sekitar pukul 14.00 WIB, datang seseorang bernama Revo dan mengajak Panut untuk makan bakso di Sungai Lambai dengan berboncengan mengguna kan sepeda motor milik Revo,” ucap Ismail mengulang cerita ayah angkat korban tersebut.
Lebih lanjut dijelaskan, saat berada diatas kendaraan Revo sibuk menelpon seseorang. Saat sampai dan memesan bakso, Revo pun keluar sebentar dan mengaku menelpon temannya serta pergi dengan sepeda motornya meninggalkan Panut.
“Tidak lama kemudian datang lima orang oknum anggota Polres Solok Selatan yang langsung mencengkram Panut dan memaksanya masuk ke dalam mobil oknum polisi tersebut,” sambung Ismail.
Setelahnya, saat didalam mobil Panut dipukul dan dituduh mencuri sepeda motor. Walaupun menyangkal dan tidak mungkin mencuri karena memiliki sepeda motor, namun oknum polisi tersebut terus memaksa dan memukuli Panut.
“Karena tidak tahan terus dipukuli dan memaksa siapa saja teman-temanya yang terlibat, akhirnya Panut menyebutkan nama -nama temannya, Jefri, Wisnu, dan Arif. Saat menjemput Arif inilah terjadi penembakan. Panut disuruh turun dari mobil dan tiarap dengan kepala ditutup. Panut merasakan pada betisnya ditembak oknum polisi tersebut hingga tembus kedepan, kemudian bekas luka tembakan tersebut diikat dengan baju dan dibawa ke RSUD Solok Selatan,” tuturnya.
Dari RSUD, Panut dibawa ke Polres Solok Selatan, dan dimasukan kedalam ruangan penahanan Polres tesebut. Barulah besoknya sekitar pukul 10.00 WIB, Panut dipindahkan ke salah satu rumah di luar Polres untuk kemudian dilepaskan pada 8 April 2020 tanpa ada keterangan pasti.
“Saat diisolasi dan ditempatkan di salah satu rumah, keluarga tidak bisa menemui Panut dengan alasan Panut terinfeksi virus corona dan harus dikarantika. Hingga akhirnya Panut dibebaskan dan menceritakan kejadian yang dialaminya di bawah ancaman oknum polisi Polres Solsel,” ungkap Ismail.
Sementara itu, usai mendampingi korban melapor ke Polda Sumbar, pihak JMG mencoba menghubungi salah satu oknum polisi yang diduga ikut melakukan penangkapan terhadap korban bernama Aipda Safita Hendri, dan mengakui kejadian tersebut. Oknum polisi tersebut dengan jelas mengakui bahwa dirinya terpaksa menembak Panut Hardianto karena mencoba melarikan diri. Ia juga mengakui bahwa apa yg dilakukan dirinya dengan beberapa anggota Polres Solsel terhadap Panut diketahui Kapolres Solsel.
“Kapolres tahu kejadian ini dan Kapolres bertanggungjawab juga ujar oknum polisi tersebut yang Kami hubungi via telpon seluler,” jelas Ismail.
Selanjutnya pihak JMG menghubungi Kapolres Solsel, AKBP Imam Yulisdianto. Namun saat dihubungi JMG ke ponselnya, Kapolres malah mengaku tak tahu dan belum mengetahuinya. “Maaf saya belum tahu dan belum mengetahui kejadian ini. Nanti saya coba koordinasi dengan anggota saya,” ucap Ismail mengulangi percakapan singkatnya dengan Kapolres Solsel tersebut.
Sementara itu, Ketua DPD Lembaga Pengawas Reformasi Indonesia (LPRI) Provinsi Sumbar Syamsir Burhan mengungkapkan, jika kasus tersebut terbukti merupakan salah tembak atau tangkap yang dilakukan oknum polisi, akan mencederai nama baik instansi kepolisian. Hal itu menunjukkan masih ada oknum polisi yang tidak proporsional dan profesional dalam menjalani tugas dan menangani kasus.
“Ini menjadi pelecut bagi Polri khususnya Polda Sumbar masih ada ketidakprofesionalan oknum polisi di lapangan, ” ungkap Syamsir Burhan Selasa (14/4).
Syamsir menambahkan, salah tangkap apalagi disertai penyiksaan dan penembakan seseorang untuk mengakui menjadi pelaku suatu tindak pidana melanggar Pasal 333 KUHP tentang perampasan kemerdekaan seseorang dan Pasal 353 KUHP memaksa orang lain dengan memakai kekerasan. Hal itu juga menyalahi aturan internal Polri Perkap Nomor 8 Tahun 2009 tentang pedoman atau standar HAM, juga UUD Pasal 28 (I) penyiksaan tidak dapat dilakukan dalam kondisi dan tujuan apapun.
“Kita juga berharap pihak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Sumbar harus turut memberikan layanan medis dan perlindungan bagi korban jika dibutuhkan. Andaikan nanti terjadi permohonan maaf dari oknum pelaku atau pihak kepolisian atas pengusutan dari Propam, itu saja tidak cukup. Kita berharap proses pidananya juga berjalan nanti. Hak Panut Adrianto harus dipenuhi setelah diduga menjadi korban penembakan dan salah tangkap, seperti rehabilitasi nama baik, pemulihan fisik dan psikis,”jelasnya. (mor)