Jakarta, Babarito
Upaya pencegahan pandemi virus corona (COVID-19) tidak selalu dengan karantina wilayah atau yang juga dikenal lockdown.
Sejumlah cara yang lebih efektif masih dapat dilakukan seperti pembatasan sosial, serta penyemprotan disinfektan guna mengurangi penyebaran COVID-19. Hal tersebut disampaikan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dalam keterangan tertulisnya, Senin (23/3).
“Tokyo dan Seoul hingga kini tidak melakukan lockdown tapi dapat membendung penyebaran virus, di antaranya dengan rapid test (tes cepat) dan masih banyak cara lain yang bisa dikerjakan dibandingkan skenario lockdown,” tuturnya.
Mendagri juga menegaskan dengan pembatasan sosial maka penyebaran virus corona dapat ditekan.
“Asalkan dibarengi dengan edukasi ke masyarakat, mengenai apa yang terjadi saat ini dan cara menanggulanginya,” ungkapnya.
Tito menerangkan istilah lockdown menjadi familiar di masyarakat setelah beberapa negara menerapkannya.
Di Indonesia, sudah diatur mengenai ketentuan karantina. Ada empat jenis karantina yaitu, karantina rumah, karantina rumah sakit, karantina wilayah (lockdown), dan karantina dengan pembatasan sosial skala besar secara masif.
Khusus untuk karantina wilayah, negara menetapkan hal tersebut dapat diterapkan asalkan memenuhi beberapa pertimbangan. Di antaranya tingkat bahaya, efektivitas, dan teknis pelaksanaan.
Selain itu, katanya, pertimbangan ekonomi, sosial, budaya, keamanan, dan sumber daya. Terkait dengan hal itu, katanya, negara masih menilai karantina wilayah belum menjadi pilihan.
Mendagri menambahkan Kota Jakarta yang dinilai tidak efektif jika menerapkan karantina wilayah karena memiliki banyak pintu masuk yang tidak bisa dikendalikan.
“Jakarta ini sudah menjadi megapolitan, sudah tidak ada lagi batas dengan Depok, Bekasi, Tanggerang, dan Bogor. Masalahnya, tidak dapat menutup Jakarta secara fisik karena masih banyak jalan tikusnya,” ujarnya.
Selain itu, pertimbangan ekonomi menjadi yang utama karena hampir 70 persen perekonomian Indonesia terjadi di Ibu Kota Negara, Jakarta.
“Nanti bisa menimbulkan krisis ekonomi, ongkos jauh lebih mahal. Lalu sumber daya, apakah cukup dana untuk membiayai warga yang diharuskan di rumah masing-masing. Ini yang jadi pertimbangan,” pungkasnya.
Sejauh ini, pemerintah sudah memastikan akan melakukan tes cepat dengan mengirimkan alatnya ke tiap-tiap daerah dalam waktu dekat.
Sebelumnya, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19, Doni Monardo, mengimbau agar masyarakat bisa disiplin dalam menjalankan pembatasan sosial. “Tanpa kita mematuhi soal jarak sosial maka makin banyak masyarakat yang terpapar,” ujarnya.
Menurut Doni, masyarakat juga perlu menghentikan segala polemik yang berhubungan dengan pilihan kebijakan seperti halnya istilah lockdown.
“Yang kita butuhkan sekarang adalah kedisiplinan tentang bagaimana kita bisa menjabarkan social distancing, jaga jarak,” urainya.
Doni menyatakan, pemerintah saat ini mengoptimalkan semua sumber daya nasional yang ada di pusat, maupun di daerah.
Sedangkan pengamat kebijakan publik Agus Pambagio menyatakan kepatuhan masyarakat, sangat penting jika opsi lockdown dalam menangani pandemi COVID-19 diberlakukan pemerintah.
Agus menuturkan, berkaca dari imbauan bekerja atau belajar dari rumah masing-masing masih banyak masyarakat yang tidak patuh. Ironisnya, imbauan tersebut malah dijadikan ajang liburan.
“Kalau gak ada denda sama hukumannya gak akan berjalan kebijakan lockdown,” tegasnya.
Menurutnya, tingkat kepatuhan yang rendah justru akan meningkatkan penularan COVID-19 sebagaimana terjadi di Italia. (*/ti)