Jakarta, Babarito
Pilkada 2020 memiliki daya tarik bagi siapapun termasuk keluarga para pejabat, sehingga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI akan memperhatikan dinasti politik.
Menurut Ketua Bawaslu RI Abhan, dinasti politik menjadi salah satu indikator dalam indeks kerawanan pilkada 2020.
“Pengawasannya pun sama. Semua sama di mata hukum. Kami akan awasi setiap kegiatan kampanye yang dilakukan,” kata Abhan, dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/01).
Hal ini terkait potensi penyalahgunaan wewenang, atau sumber daya tertentu dalam kampanye para calon kepala daerah dari dinasti politik.
Abhan menuturkan, pihaknya sedang menyelesaikan penyusunan indeks kerawanan pilkada 2020 dengan memetakan setidaknya empat poin.
“Beberapa di antaranya poin penyelenggaraan, poin kontestasi dan poin penyelenggara pilkada yang kita selesaikan. Insya Allah awal Maret kami rilis,” tegasnya.
Sejumlah keluarga pejabat telah mendeklarasikan dirinya maju di pilkada 2020. Salah satunya anggota keluarga Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang bersiap maju dalam Pilkada 2020.
Yaitu putra sulung Gibran Rakabuming Raka, yang akan mencalonkan diri di pemilihan wali kota Solo.
Selain itu juga menantu Jokowi, Bobby Afif Nasution, juga akan mencalonkan menjadi wali kota Medan di Pilkada 2020.
Adik ipar Jokowi, Wahyu Purwanto, juga akan mencalonkan diri menjadi bupati Gunungkidul.
Kemudian paman dari menantu Jokowi, yakni Doli Sinomba Siregar, yang akan mencalonkan diri sebagai Bupati Tapanuli Selatan, Sumatera Utara.
Sebelumnya, pengamat politik Arif Nurul Imam menilai, praktik dinasti politik justru akan menghambat percepatan kesejahteraan dan keadilan.
Menurut Arif, praktik dinasti politik sejatinya terjadi di banyak negara, termasuk negara kampiun demokrasi, yakni Amerika Serikat (AS).
Hanya saja, praktik dinasti politik di luar negeri tetap menimbang aspek kapasitas, pengalaman, dan rekam jejak dan pengabdian di masyarakat.
Arif menambahkan, dinasti politik semacam ini tidak memiliki dampak buruk bagi perkembangan demokrasi.
“Dinasti politik sesungguhnya fenomena global, di AS ada dinasti Kennedy, Bush dan lain-lain, hanya mereka mengedepankan aspek meritokrasi, bukan hanya karena masih saudara. Sementara di Indonesia, dinasti politik berjalan ke arah negatif, karena hanya mempertimbangkan aspek hubungan darah, popularitas, dan ketersediaan logistik,” pungkasnya. (*/ti)