Oleh Ahmad R (Pemerhati Sosial Politik)
Setiap perhelatan pesta demokrasi lima tahunan, entah pemilu, pemilihan presiden, atau pun pemilihan kepala daerah, suara umat Islam kerapkali menjadi bagian yang diperbincangkan dan diperhitungkan. Siapa yang mampu meraup suara umat Islam, dialah pemenangnya.
Umat Islam di negeri ini adalah mayoritas. Tetapi, tidak semua umat Islam melek politik. Akibatnya, mereka kerap kali dimobilisir untuk memilih calon tertentu tanpa mereka paham latar belakang, visi, dan misi sang calon.
Harus diakui bahwa hingga hari ini, sebagian umat Islam memang masih enggan bersentuhan dengan politik. Mereka mengambil jarak bahkan menjauhkan dirinya dari segala aktivitas politik. Baik membahasnya atau pun perpartisipasi aktif dalam politik.
Sebagian umat Islam lebih memilih membahas soal-soal ibadah dan menekuninya. Mereka berpandangan bahwa politik itu urusan dunia. Sedangkan, ibadah adalah urusan akhirat yang berhubungan langsung dengan Allah SWT. Bahkan, ada yang beranggapan politik itu kotor dan tidak boleh dicampurbaurkan dengan ibadah yang suci. Sehingga akhirnya mereka menjauhkan dan memisahkan urusan politik dengan agama.
Ini adalah buah dari permainan dan propaganda yang gencar dilancarkan kaum sekuler. Melalui berbagai saluran komunikasi, baik televisi, koran, majalah, buku, internet, seminar, dan diskusi, mereka menyebarkan pemikiran-pemikiran tentang pentingnya pemisahan politik (negara) dengan agama. Umat Islam dibuat hanya fokus pada ibadah saja, sementara untuk urusan politik diatur orang lain. Ini masih ditambah lagi dengan suguhan acara-acara televisi yang lebih menampilkan hedonisme, yang semakin menjauhkan umat Islam dari nilai-nilai Islam. Sehingga, mereka hanya berpikir parsial bahwa Islam itu hanya ibadah saja.
Akibatnya, sebagian umat Islam hanya berkutat pada masalah-masalah shalat, puasa, zakat, haji, batal atau tidaknya wudhu, shalat shubuh pakai doa qunut atau tidak, dan sebagainya.
Dampak dari itu semua, kekuasaan tidak dipegang umat Islam. Peraturan atau undang-undang yang dibuat tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Problematika di masyarakat pun bermunculan. Penanganan pornografi dan pornoaksi yang tak tegas, merebaknya tindak kejahatan, pemakaian narkoba, dan lainnya.
Padahal, Islam adalah agama yang menyeluruh dan komprehensif. Mencakup segala hal yang diperlukan sebagai panduan bagi kehidupan manusia. Tidak saja menyangkut urusan ibadah, tetapi juga ekonomi, sosial, hukum, seni budaya, militer, dan politik. Islam hadir sebagai petunjuk bagi manusia sehingga dapat menjalani kehidupan dengan baik, teratur, sejahtera, mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Syaikh Hasan Al Bana, salah satu mujadid (pembaharu) dakwah abad 20 menyebut, Islam adalah sistem yang menyeluruh, mencakup seluruh sisi kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran. Ia adalah aqidah yang lurus, ibadah yang benar, tidak kurang tidak lebih.
Jadi, Islam bukan hanya mengatur hubungan manusia dengan Rabb-nya. Tetapi, juga mengatur urusan masyarakat dan negara. Karena itu, berpolitik menjadi hal yang sangat penting bagi umat Islam. Sehingga, urusan masyarakat tetap bisa berjalan sesuai dengan syariat Islam.
Salah satu aktivitas mengatur urusan manusia adalah amar ma’ruf nahi munkar. Menyeru kepada kebajikan dan mencegah dari perbuatan merusak. Tanpa dengan kekuasaan dan kekuatan, amar ma’ruf nahi munkar hanya sebatas imbauan atau seruan semata. Padahal, ini adalah salah satu bentuk aktivitas politik.
Karena itu, umat Islam harus berpolitik. Dengan demikian umat Islam bisa memperoleh kekuasaan dan kekuatan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar.
Sebab itu, umat Islam harus diberi pemahaman politik melalui pendidikan politik. Langkah ini dilakukan guna menyiapkan kaum muslimin untuk menjalankan urusan-urusan umum, membekali mereka untuk melaksanakan kewajiban-kewajibannya, dan mempertahankan hak-hak mereka.
Sebaiknya, semua lembaga-lembaga atau elemen-elemen masyakat, baik itu keluarga, sekolah, forum, maupun media komunikasi harus ambil bagian dalam mendidik umat Islam agar melek politik. Sehingga mereka menjadi tidak ragu dan takut lagi terjun dalam politik. Pada akhirnya, suara Islam akan bulat untuk sama-sama menegakkan syariat Islam.
Para ulama juga harus mengambil peran yang sama. Tidak ragu-ragu dan takut lagi berbicara hal ihwal politik di masjid, mushola, atau di majelis-majelis taklim. Peran mereka amat penting dalam rangka mencerahkan dan memberi pemahaman betapa pentingnya umat Islam aktif berpolitik.
Rasulullah SAW sudah memberikan kita contoh bahwa umat Islam harus berpolitik. Nabi SAW mendirikan negara Madinah. Mengatur urusan pemerintahan dan masyarakat. Rasulullah bicara politik di masjid, memimpin negara dan pemerintahan juga dari masjid. Langkah Nabi ini diikuti para sahabat yang menjalankan roda pemerintahan Islam selanjutnya.
Rasulullah SAW dan para sahabat sudah melakukan itu. Menjalankan ajaran Islam secara komprehensif. Maka kita pun tidak boleh ragu-ragu lagi untuk melakukan hal yang sama. Ibadah dilaksanakan, berpolitik pun dijalankan. Karena itu, partisipasi aktif umat Islam dalam berpolitik amat dibutuhkan baik dalam rangka mendukung maupun mengawasi kekuasaan.