Oleh: Ahmad R
Pemilihan kepala daerah (pilkada) sejatinya adalah memilih pemimpin. Memimpin masyarakat di suatu daerah. Dalam konteks ini, rakyat diberikan kesempatan menggunakan haknya untuk memilih siapa diantara calon-calon yang ada layak menjadi pemimpin.
Persoalan memilih pemimpin bukanlah masalah sederhana, hanya sekadar mencoblos tanda gambar sang calon lalu pulang ke rumah. Tetapi, pemilih harus cerdas dan penuh pertimbangan matang sebelum menjatuhkan pilihan. Oleh karena itu, pemilih harus jeli menelisik latar belakang, rekam jejak, dan beragam program yang ditawarkan.
Ini penting dilakukan para pemilih agar tidak salah memilih, sehingga timbul penyesalan di kemudian hari. Karena, pilihan pemilih hari ini akan berdampak pada lima tahun ke depan. Apakah dampak itu membawa kemaslahatan masyarakat, atau malah sebaliknya menghancurkan sendi-sendi kehidupan di masyarakat.
Dalam pandangan Islam, persoalan memilih pemimpin merupakan masalah yang sangat penting. Karena, memilih pemimpin tidak hanya mencakup dimensi duniawi, tetapi juga dimensi ukhrowi. Pemilih juga akan dimintai pertanggungjawabannya di akherat kelak atas pilihannya.
Kitab suci Al Qur’an memberikan begitu banyak tuntunan dan petunjuk bagi kaum muslimin agar tepat dalam memilih seseorang menjadi pemimpin. Al Qur’an dengan sangat tegas menjelaskan tentang larangan memilih pemimpin non muslim pada suatu wilayah yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
Pemimpin adalah seseorang yang memiliki kewenangan besar dalam menentukan arah dan kebijakan strategis yang berdampak sangat besar bagi kehidupan kaum muslimin di suatu wilayah. Sebab itu, bagi suatu wilayah yang dikuasai mayoritas muslim, maka pemimpinnya berasal dari kalangan muslim juga.
Dalam QS: Ali Imron (3): 28, Allah SWT berfirman yang artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi WALI (waly) pemimpin, teman setia, pelindung, dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya, dan hanya kepada Allah kamu kembali”.
Masih ada beberapa ayat lagi yang terkait dengan persoalan di atas, antara lain, QS: An Nisa (4): 144, 138, 139, QS: Al Ma’idah (5): 57, QS: At-Taubah (9): 23, dan QS:Al Mujadalah (58): 22. Dalil-dalilnya sudah jelas dan tegas, sehingga tidak ada lagi ruang tawar-menawar atau membantahnya.
Lantas, bagaimana jika calon-calon yang akan dipilih semuanya berasal dari kalangan umat Islam?
Dalam konteks ini, umat Islam terkadang dihadapkan pada situasi dilematis saat menentukan pilihan pada calon pemimpin yang berasal dari kalangan kaum muslimin. Sehingga, akhirnya mereka mengambil sikap tidak menggunakan hak pilihnya.
Kondisi ini jelas sangat disayangkan. Karena berarti mereka tidak ikut berpartisipasi aktif dengan menunaikan hak politiknya. Padahal, mereka bisa memilih satu di antara calon-calon pemimpin yang ada. Memilih yang terbaik di antara yang baik.
Umat Islam bisa menelusuri rekam jejak masing-masing calon. Banyak hal bisa ditelisik dari mereka. Mulai dari akhlaknya, ibadahnya, keluarganya, pergaulannya di masyarakat, hubungan dengan tetanggannya, pekerjaannya, dan lainnya, sehingga akhirnya akan diperoleh nilai lebih di antara calon-calon yang ada.
Nilai lebih itulah yang bisa dijadikan pijakan bagi masyarakat dalam menentukan pilihan. Karena, di antara pasangan calon-calon yang ada pasti punya keutamaan-keutamaan yang tidak dimiliki calon lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam buku Siyasah Syar’iyah menyebut ada empat proses cara memilih pemimpin. Pertama, memilih orang yang professional dan sholeh. Kedua, jika ada dua orang yang memiliki kekuatan dan kesholehan yang sama, maka pilihlah yang paling baik sesuai dengan kebutuhan yang ada.
Ketiga, jika ada orang yang kuat tapi kurang sholeh dan orang sholeh tapi lemah, maka yang patut dipilih adalah orang yang kuat meskipun kurang sholeh. Karena kekuatan itu akan memiliki manfaat luas bagi masyarakat. Sedangkan, kesholehan hanya akan bermanfaat bagi dirinya sendiri. Keempat, jika ada dua orang yang kurang memiliki kemampuan dan integritas, maka yang dipilih adalah yang paling sedikit mudharatnya.
Di zaman sekarang rasanya sulit menemukan orang kuat sekaligus sholeh. Kalau pun ada jumlahnya tidak banyak. Namun, dalam pandangan Ibnu Taimiyah, bukan berarti kedua hal itu dapat dipisahkan dalam sebuah sistem kepemimpinan. Sebab, kekuatan dan kesholehan merupakan penyeimbang satu sama lain, karena sebuah jabatan sangat membutuhkan dua hal tersebut.
Jika seorang pemimpin berwatak keras, maka harus mengangkat seorang wakil yang lembut. Tujuannya, agar sang wakil dapat memberikan petunjuk dengan lemah lembut kepada pemimpin saat sikap dan watak kerasnya muncul. Sebaliknya, jika pemimpin berwatak lembut, maka wakilnya harus berkarakter keras.
Sebab, jika pemimpin dan wakilnya sama-sama keras, dikhawatirkan akan terjadi penindasan terhadap rakyatnya. Begitu pun, jika pemimpin dan wakilnya lembut, semua urusan akan rusak. Bisa jadi rakyat akan sering membangkang dan tidak patuh terhadap pemimpinnya. Oleh karena itu, yang baik adalah jika salah satu keras, maka yang lainnya lembut sehingga ada keseimbangan dalam kepemimpinan.
Yang jelas, menjadi pemimpin adalah amanah yang harus dijalankan dengan baik dan akan dimintai pertanggung jawabannya di akhirat kelak. Tentang bagaimana ia memimpin dan dengan cara apa ia memimpin.