Oleh Ahmad R (Pemerhati Sosial Politik)
Pilkada 2020 baru tahun depan digelar, tetapi para peminat kursi kepala daerah sudah bermunculan di beberapa daerah yang akan menggelar hajat politik lima tahunan itu. Meski belum ditetapkan secara resmi oleh KPUD, tetapi kemunculan tokoh-tokoh yang ingin bertarung dalam pilkada patut diapresiasi.
Kekuasaan nyatanya masih menjadi magnet sangat kuat bagi banyak orang untuk meraihnya. Makanya wajar jika dalam perhelatan pemilihan kepala daerah, termasuk pemilihan gubernur Sumbar 2020 mendatang banyak peminatnya. Terlepas apakah berhasil atau tidak, tetapi upaya itu mencerminkan bahwa kekuasaan punya daya pikat yang luar biasa.
Sejumlah nama yang muncul ke permukaan disebut-sebut sebagai kandidat cagub Sumbar 2020. Sebut saja antara lain, Wagub Sumbar Nasrul Abit, Wali Kota Padang Mahyeldi Ansharullah, Bupati Padang Pariaman Ali Mukni, Anggota DPR RI dari Partai Demokrat Mulyadi, Wali Kota Payakumbuh Riza Falepi, Bupati Agam Indra Catri, Kapolda Sumbar Fakhrizal, Shadiq Pasadiqoe, Emma Yohana, dan anggota DPR RI dari Partai Gerindra Andre Rosiade.
Semua kandidat mempunyai peluang yang sama untuk tampil memimpin Sumatra Barat periode 2020-2025. Ini setelah Gubernur Sumbar Irwan Prayitno tak lagi berlaga di Pilgub Sumbar 2020.
Meski UU No.32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda) memberi jalan untuk maju melalui jalur independen, toh kebanyakan politisi lebih memilih maju dalam pemilihan kepala daerah melalui jalur partai politik. Maka pemandangan hari-hari ini menjelang Pilkada 2020 digelar, para politisi rajin wara-wiri ke sejumlah partai politik. Mereka datang dan mendaftarkan diri untuk ikut dalam proses penjaringan calon.
Tak hanya satu partai politik yang didatangi, tetapi lebih dari itu. Bahkan, satu orang politisi bisa mendatangi lima hingga enam partai politik. Logikanya sederhana, semakin banyak mendaftar di parpol, semakin besar peluang untuk diterima dan didukung partai politik maju dalam Pilkada 2020 mendatang.
Bukan tanpa alasan jika banyak politisi yang lebih memilih bertarung di Pilkada lewat jalur partai politik. Partai politik masih dipandang sebagai jalur primadona bagi kandidat untuk memenangkan perebutan kursi kepala daerah, Karena memiliki sejumlah keunggulan. Antara lain, ketersediaan kader dan struktur partai hingga ke tingkatan bawah.
Tetapi, bukan hal yang mudah juga bagi politisi untuk mendapat kendaraan politik melalui jalur parpol. Sebab, parpol tentu punya alat ukur sebagai dasar untuk memutuskan menerima kandidat maju melalui partainya. Popularitas, elektabilitas, dan peluang menang yang besar adalah alat ukur yang biasanya digunakan parpol memberi rekomendasi bagi kandidat bertarung di Pilkada.
Kemunculan banyak kandidat calon kepala daerah setidaknya mencerminkan demokrasi di suatu daerah telah berkembang cukup maju. Karena, demokrasi mensyaratkan tersedianya banyak pilihan dalam konteks pemilihan kepala daerah. Demokrasi juga membuka ruang cukup luas bagi rakyat sebagai pemilih dalam menentukan pilihannya.
Kondisi ini juga menumbuhkan kesadaran berpolitik dan kepedulian masyarakat terhadap jalannya pemerintahan. Karena, memang seperti itulah pilkada dihadirkan di tengah-tengah masyarakat.
Pilkada sejatinya harus mampu membangun kesadaran politik rakyat sebagai warga negara untuk ikut bertanggung jawab terhadap roda pemerintahan. Pendeknya, pilkada dapat menjadi sarana pendidikan politik bagi rakyat untuk secara sadar ikut membangun daerahnya.
Karena punya kesadaran dalam berpolitik, maka rakyat sebagai pemilih tentu tidak asal saja menjatuhkan pilihannya tanpa terlebih dulu melihat rekam jejak dan program sang calon. Pemilih harus tetap menggunakan kecerdasan dan hati nuraninya dalam menentukan pilihan, serta tidak silau oleh janji-janji manis kandidat.