Padang, Babarito
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Painan, kembali melanjutkan sidang kasus dugaan pengerusakan hutan bakau (mangrove), di Kawasan Mandeh, Kecamatan Koto XI, Pesisir Selatan, Sumatera Barat (Sumbar), yang mana menjerat terdakwa Rusma Yul Anwar.
Dalam sidang tersebut, JPU menghadirkan saksi ahli. Menurut saksi ahli yakninya Nyoto Sutanto, mengatakan bahwa dirinya datang ke lokasi untuk mengambil data.
“Kerusakannya sangat kecil yaitu 0,79, kerusakan itu terjadi dari ulah tangan manusia, baik langsung maupun tidak langsung,” kata saksi ahli pengeloaan hutan, pada dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), di Pengadilan Negeri Kelas IA Padang, Rabu (20/11).
Selain itu ia menambahkan, magrove tersebut mengalami kerusakan, karena magrove yang hidup dimatikan. “Kalau saya menilainya dilokasi yang rusak saja,” tambahnya.
Lebih lanjut disebutkan, mangrove mempunyai peran yang sangat penting. “Fungsinya sangat penting sekali, selain untuk membesarkan anak ikan, juga menahan angin abrasi, tsunami dan lain-lain,” sebutnya.
Dalam sidang tersebut, tim Penasihat Hukum (PH) terdakwa, Vino dan Sutomo, sempat berdebat dengan saksi ahli terkait titik koordinat, yang mana menurut PH terdakwa terdapat kekeliruan. Melihat perdebatan tersebut, sidang yang diketuai Gutiarso didampingi Agus Komarudin dan Khairulludin, membuat hakim ketua sidang marah.
“Ya sudah tidak usah didebatkan lagi, itu kan pendapat ahli. Biar kami yang menilai, untuk itu lanjutkan, lanjutkan,” ujar hakim ketua sidang, dengan nada yang tinggi dan keras.
Dalam sidang tersebut JPU memperlihatkan barang bukti kepada saksi. Usai menjalani pemeriksaan sebagai saksi ahli, saksi ahli pun keluar dari ruang sidang utama. Sebelum sidang ditutup, JPU masih akan menghadirkan empat orang saksi lagi.
Sebelumnya dalam dakwaan JPU dijelaskan, kejadian ini bermula pada Mei tahun 2016 hingga 2017. Terdakwa membeli sebidang tanah pada seluas tiga hektar, pada tahun 2016. Dua bulan kemudian dimulailah pembangunan di kasawan Mandeh dan pelebaran jalan serta perairan laut, dari satu meter menjadi empat meter, yang panjangnya sekitar tiga puluh meter.
Terdakwa telah memerintahkan seseorang untuk meratakan bukit, dengan tujuan pendirian penginapan. Dimana terdapat dua lokasi pengerusakan mangrove. Pertama ukuran dengan panjang 12 meter dan lebar 75 meter. Dan kedua dengan ukuran panjang 75 meter dan lebar 12 meter, pada bukit yang diratakan yang telah berdiri empat bangunan.
Dilokasi tersebut, sudah dibuat fasilitas jalan dan pembangunan perumahan. Dimana aktifitas berdampak dan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan. Berdasarkan data lapangan dan citra satelit, kerusakan yang ditimbulkan yakni matinya mangrove saat pelebaran sungai, seluas 3.029 meter atau luas 0,3 hektar.
Pelebaran sungai dititik lain mengakibatkan rusaknya hutan. Kemudian hutan mangrove ditimbun tanah seluas 0,39 meter. Sehingga total luas hutan mangrove yang rusak sekitar 7.900 m2 atau 0,79 hektar.
Bahwa terdakwa melakukan kegiatan tanpa izin lingkungan di areal perbukitan. Dimulai dari pembukaan lahan, pembuatan jalan menuju bukit, serta perataan bukit. Perbuatan terdakwa melanggar pasal 98 UU RI No 32 tahun 2009, tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Pasal 109 UU RI Nomor 32 tahun 2009, tentang perlindungan dan penglolaan lingkungan hidup. (oke)