Padang, Babarito
Jaksa Penuntut Umum (JPU) pada Kejaksaan Negeri (Kejari) Painan, kembali melanjutkan sidang kasus dugaan pengerusakan hutan bakau (mangrove) di Kawasan Mandeh, Kecamatan Koto XI, Pesisir Selatan, Sumatra Barat (Sumbar), yang menjerat terdakwa Rusma Yul Anwar, digelar di Pengadilan Negeri Kelas I A Padang, Kamis (7/11).
Sidang yang digelar sekitar pada pukul 10.25 WIB, menghadirkan tiga orang pekerja. Para saksi yang dihadirkan yakninya Masrial selaku kepala tukang bangunan, Ben Rusdi selaku tukang bangunan dan Jen selaku membantu pembangunan.
Menurut saksi Masrial mengatakan dipersidangan, dirinya kenal dengan terdakwa.
“Saya diminta untuk membangun dua unit pondok ditempat terdakwa, tepatnya di kawasan Mande. Selain pondok juga membangun toilet dan kamar mandi, dalam pengerjaan tersebut ada tiga orang pekerja,” katanya saat memberikan keterangan.
Selain itu ia menambahkan, luas pondok yang dibangun pada waktu itu delapan kali enam meter. “Dalam pengerjaan tersebut saya diberi upah Rp150 ribu perharinya,” tambahannya.
Saksi lainnya yakninya Ben Rusdi menerangkan bahwa, dirinya diminta untuk oleh terdakwa untuk membangun pondok, dikawasan Mande. “Saya berkerja dengan terdakwa hanya 21 hari pak hakim, tetapi saya diberi upah pak hakim,” ujarnya.
Hal yang sama pun juga disampaikan oleh saksi lainnya yaitu Jen, ia menuturkan bahwa dirinya hanya membantu pengerjaan pembangunan pondok di tempat terdakwa, yang terletak dikawasan Mande. “Di sampng itu, saya juga yaitu menanam pohon disana, hal itu atas permintaan terdakwa,” imbuhnya.
Dalam persidangan tersebut JPU memperlihat barang bukti, kepada majelis hakim berupa dokumen. Terhadap keterangan tiga saksi tersebut, terdakwa Rusma Yul Anwar yang didampingi Penasihat Hukum (PH) Vino dan Sutomo mengaku tidak keberatan. Sebelum sidang ditutup, dihadapan majelis hakim JPU Cristian Erry bersama tim akan masih menghadirkan saksi kepersidangan.
Menanggapi hal tersebut, sidang yang diketuai Gutiarso didampingi hakim anggota Agus Komarudin dan Khairulludin, memberikan waktu satu minggu. “Baik ya sidang ini kita tunda dan dilanjutkan pada 14 November 2019, dengan agenda mendengarkan keterangan saksi, sidang ditutup,” tegas hakim ketua sidang sembari memukulkan palu.
Sebelumnya dalam dakwaan JPU dijelaskan, kejadian ini bermula pada Mei tahun 2016 hingga 2017. Terdakwa membeli sebidang tanah pada seluas tiga hektar, pada tahun 2016. Dua bulan kemudian dimulailah pembangunan di kasawan Mandeh dan pelebaran jalan serta perairan laut, dari satu meter menjadi empat meter, yang panjangnya sekitar tiga puluh meter.
Terdakwa telah memerintahkan seseorang untuk meratakan bukit, dengan tujuan pendirian penginapan. Dimana terdapat dua lokasi pengerusakan mangrove. Pertama ukuran dengan panjang 12 meter dan lebar 75 meter. Dan kedua dengan ukuran panjang 75 meter dan lebar 12 meter, pada bukit yang diratakan yang telah berdiri empat bangunan.
Di lokasi tersebut, sudah dibuat fasilitas jalan dan pembangunan perumahan. Dimana aktifitas berdampak dan berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan. Berdasarkan data lapangan dan citra satelit, kerusakan yang ditimbulkan yakninya matinya mangrove saat pelebaran sungai, seluas 3.029 meter atau luas 0,3 hektar.
Pelebaran sungai dititik lain mengakibatkan rusaknya hutan. Kemudian hutan mangrove ditimbun tanah seluas 0,39 meter. Sehingga total luas hutan mangrove yang rusak sekitar 7.900 meter atau 0,79 hektar.
Bahwa terdakwa melakukan kegiatan tanpa izin lingkungan diareal perbukitan. Dimulai dari pembukaan lahan, pembuatan jalan menuju bukit, serta pemerataan bukit. Perbuatan terdakwa melanggar pasal 98 UU RI No 32 tahun 2009, tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan. Pasal 109 UU RI Nomor 32 tahun 2009, tentang perlindungan dan penglolaan lingkungan hiudup. (oke)