Padang, Babarito
Daerah Aliran Sungai (DAS) Indragiri dan Batanghari terletak di 3 provinsi yakni, Provinsi Sumatera Barat yang merupakan daerah hulu, Provinsi Riau dan Jambi merupakan daerah tengah dan hilir yang bermuara di pantai timur pulau Sumatera. DAS Indragiri memiliki hulu di Kota Sawahlunto, Kota Solok, Kabupaten Solok, Kabupaten Sijunjung sedangkan DAS Batanghari berhulu di Kabupaten Solok, Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Dharmasraya.
Namun kondisi saat ini, DAS Indragiri dan Batanghari dalam kategori kritis, dan sangat memprihatinkan. Pasalnya terancam oleh Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), karena terdapat aktifitas industri pertambangan dan perkebunan monokultur skala besar serta aktifitas legal dan illegal logging di sekitar DAS ini.
Menurut pengkampanye tambang dan energi, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumbar, Zulpriadi, mengatakan, penyebab kerusakan hulu DAS Indragiri dan Batanghari berasal, dari massifnya perizinan industri ekstraktif yang berada di DAS.
“Saat ini terdapat 39 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 1 Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu – Hutan Alam (IUPHHK – HA), dimana aktifitas industri ekstraktif, merupakan penyumbang terbesar kerusakan hulu DAS Indragiri dan Batanghari,” katanya, Rabu (7/8).
Ia mencontohkan, PLTU Ombilin yang berada di Kota Sawahlunto melakukan penumpukan abu hasil pembakaran batubara yang merupakan Limbah B3. Penumpukan Limbah B3 yang telah menjadi “gunungan”, dengan volume ratusan ribu ton dibiarkan begitu saja.
“Ketika hujan turun limpahan air dari “gunungan” Limbah B3 PLTU Ombilin langsung, masuk ke sungai Ombilin yang hanya berjarak kurang dari 10 meter dari bibir sungai. Hal ini tentu sangat membahayakan ekosistem sungai Ombilin yang merupakan hulu DAS Indragiri,” ucapnya.
WALHI Jambi yang diwakili Staf Penguatan Data dan Informasi WALHI Jambi, Kartika Dewi TM menyatakan, bahwa dalam satu dekade terakhir, Provinsi Jambi memiliki persoalan dengan air. Sebab Sungai Batanghari yang ada di Bumi Sepucuk Jambi Sembilan Lurah, posisinya bukan lagi sebagai sumber air bersih, rumah habitat ikan tawar, dan jalur transportasi bagi masyarakat, kini justru menjadi sumber penyakit dan persoalan.
“Sungai Batanghari berada pada status prioritas I, yang artinya kondisi kritis,” ujarnya. Berdasarkan analisis kualitas air sungai Batanghari tahun 2016 diketahui bahwa, nilai Biological Oxygen Demand (BOD) 18,08 mg/L dan Chemical Oxygen Demand (COD) 35,2 mg/L hasil dari analisa ini telah melampaui baku mutu yang ditetapkan.
“Dengan demikian, penanganan permasalahan Sungai Batanghari merupakan hal yang harus segera dilakukan. Misi ini harus dijadikan gerakan kolektif dan ikhitiar bersama,” tuturnya. Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dan Provinsi Jambi sudah saatnya, melakukan penyelamatan DAS Batanghari dengan memangkas segala akar permasalahan.
“Langkah awal yang harus dilakukan pemerintah ialah mengevaluasi dan menghentikan perizinan industri di wilayah DAS yang tidak mengindahkan aspek keberlanjutan lingkungan hidup. Selain itu, diperlukan kesungguhan dan ketegasan pemerintah dalam menegakan regulasi yang ada,” lanjutnya.
Sementara itu, Ketua Sumatera Green Forest (SGF) Jasman menjelaskan, Hulu DAS Indragiri dan Batanghari merupakan tempat habitat dan pergerakan satwa-satwa dilindungi seperti Harimau, Beruang, Tapir dan Burung Rangkong serta satwa dilindungi lainnya. Dimana habitatnya meliputi TNKS, Cagar Alam Pangean 1 dan 2 hingga Taman Nasional Rimbang Baling di Provinsi Riau.
“Rusaknya hulu DAS Indragiri dan Batanghari oleh aktifitas industri ekstraktif, berdampak serius pada satwa dilindungi tersebut. Akibatnya habitat satwa dilindungi terganggu sehingga menimbulkan konflik dengan manusia,” jelasnya.
Dalam pertemuan tersebut, juga tampak hadir beberapa tokoh adat setempat. (oke)