Jakarta (05/12) Umar bin Khatab tidak hanya dikenal sebagai pemimpin yang berdarah dingin, tegas, dan keras. Namun, di balik sikap dan kemauannya yang keras tersebut, tersimpan sisi seorang guru dan pendidik yang andal.
Kisah berikut ini akan menggambarkan sosok Umar sebagai pendidik para generasi Muslim, seperti yang terlihat dari upayanya mendidik Ahnaf bin Qais. Pemuda dari Bani Tami mini yang mendapat didikan dari Umar secara langsung selama lebih 10 tahun.
Di mata Umar, Ahnaf adalah sosok pemuda yang cerdas, mempunyai semangat yang tinggi, dan kaya akan ilmu pengetahuan. Inilah yang membuat Sang Khalifah yang berjuluk al-Faruq itu memutuskan untuk mengader langsung Ahnaf sebagai calon pemimpin. Antara lain dengan banyak belajar kepada para sahabat dan mengikuti jejak ketakwaan mereka.
Umar juga bermaksud menguji kepribadian Ahnaf sebelum memberinya tugas-tugas kemasyarakatan. Umar mempunyai kekhawatiran tersendiri terhadap orang-orang yang lihai dan tangkas bicaranya.
Sebab menurutnya, orang-orang semacam ini, jika baik, maka ia bisa memenuhi dunia dengan kepintarannya. Namun jika rusak, maka kecerdasannya bisa menjadi petaka bagi manusia.
Mengutip Mereka adalah Para Tabi’in, karya Dr Abdurrahman Ra’at, semua bermula ketika Umar, yang ketika itu menjabat sebagai khalifah, pemimpin umat Islam, meminta Utbah bin Ghazwan agar mengirim 10 orang prajurit utama dari pasukannya yang telah berjasa dalam perang.
Permintaan Umar itu, dilakukan semata agar ia berkenalan secara langsung dengan para pahlawan Islam tersebut. Termasuk berdiskusi perihal segala sesuatu dengan mereka. Utbah merespons perintah dari Umar dengan mengirimkan 10 prajurit terbaik. Nama Ahnaf bin Qais termasuk satu dari ke-10 pemuda itu. Berangkatlah mereka ke Madinah.
Sesampainya di Madinah, Umar berdialog dengan para tamu undangannya tersebut. Semua delegasi mendapat kesempatan. Tibalah giliran Ahnaf pada pengujung pertemuan. Meski terbilang masih muda, Ahnaf tak segan untuk mengutarakan pendapatnya.
Permintaan Umar itu, dilakukan semata agar ia berkenalan secara langsung dengan para pahlawan Islam tersebut. Termasuk berdiskusi perihal segala sesuatu dengan mereka. Utbah merespons perintah dari Umar dengan mengirimkan 10 prajurit terbaik. Nama Ahnaf bin Qais termasuk satu dari ke-10 pemuda itu. Berangkatlah mereka ke Madinah.
Sesampainya di Madinah, Umar berdialog dengan para tamu undangannya tersebut. Semua delegasi mendapat kesempatan. Tibalah giliran Ahnaf pada pengujung pertemuan. Meski terbilang masih muda, Ahnaf tak segan untuk mengutarakan pendapatnya.
Ia mengatakan kepada Umar bahwa mestinya, ia memerhatikan kondisi para pasukan yang bertugas di Bashrah, Irak. Mereka, tinggal di tempat yang kering dan tandus, tidak subur tanahnya, dan tidak pula menumbuhkan buah-buahan. Salah satu tepinya, laut yang paling asin. Tepi yang satunya, hanyalah hamparan yang tandus.
Dengan tegas, ia meminta Umar memperbaiki kondisi hidup mereka. Ia menyarankan pula kepada Umar agar meminta gubernur di Bashrah membuat aliran sungai supaya air tawar dapat mengalir ke permukiman warga dan menghidupi ternak dan pepohonan.
“Perbaikilah kondisi mereka dan keluarganya. Ringankanlah penderitaan mereka. Karena mereka menjadikan itu sebagai sarana berjihad di jalan-Nya,” katanya.
Umar takjub mendengar keterangan Ahnaf. Ia memuji Ahnaf sebagai sosok pemimpin. Kemudian Umar menyiapkan perbekalan prajurit ini. Namun Ahnaf berkata, “Demi Allah wahai Amirul Mukminin. Tidaklah kami jauh-jauh menemui Anda dan memukul perut unta selama berhari-hari demi mendapatkan perbekalan. Saya tidak memiliki keperluan lain, keperluan kaumku seperti yang telah saya katakan kepada Anda. Jika Anda mengabulkannya, itu sudah cukup bagi Anda.”
Umar semakin bertambah takjub dengan Ahnaf. Ia seraya berkata, “Pemuda ini adalah pemimpin penduduk Bashrah.” Umar mempersilakan para utusan untuk kembali ke Bashrah dengan perbekalan yang telah dipersiapkan. Tetapi, Umar meminta Ahnaf tetap tinggal bersamanya.
Setahun sudah Umar bersama Ahnaf. Ia pun berkata, “Wahai Ahnaf, aku sudah mengujimu, ternyata yang kutemukan dalam dirimu hanya kebaikan semata. Kulihat sikap lahiriyahmu baik, maka kuharap batinmu pun demikian.”
Kemudian, al-Faruq mengutus Ahnaf untuk memimpin pasukan ke Persia. Ia berpesan kepada panglimanya, yaitu Abu Musa al-Asy’ari, untuk mengikutsertakan Ahnaf dalam bermusyawarah atau urusan lainnya. Ia bahkan meminta Abu Musa untuk mempertimbangkan usulan-usulan yang disampaikan Ahnaf.
Bergabunglah Ahnaf di bawah panji-panji Islam dan menyerbu daerah timur Persia. Pemuda ini mampu membuktikan kepahlawanannya. Namanya makin tenar dan prestasinya kian cemerlang. Dia dan kaumnya, Bani Tamim, berjasa dalam menaklukkan musuh-musuh. Banyak kota dan daerah yang dikuasai, termasuk Tustur. Ia juga berhasil menawan pimpinan mereka, yaitu Hurmuzan.
Hurmuzan adalah pemimpin kaum Persia yang paling kuat. Ia memiliki tipu muslihat yang lihai dalam perang. Ia sudah berkali-kali mengkhianati perjanjian damai dengan umat Islam. Kemenangan kali ini, berhasil memaksa dia untuk menyerah.
Umar yang dongkol hatinya terhadap orang-orang Persia yang ingkar janji, lalu bertanya kepada para utusannya, “Apakah kita suka menganggu orang-orang dzimmi dan menekan mereka sehingga mereka melanggar perjanjian?”
Mereka seraya berkata, “Demi Allah, wahai Amirul Mukminin, tak satupun pejabat kita berbuat keji terhadap mereka, menyalahi janji atau menipu.”
Umar bertanya, “Lantas mereka selalu berbalik setiap ada peluang padahal sudah terikat perjanjian?”
Ahnaf angkat bicara mewakili para utusan tersebut. Ia mengatakan, selama ini Umar melarang para utusan memperluas kekuasaan di Persia. Umar juga selalu meminta kepada para utusan untuk selalu puas dengan wilayah-wilayah yang berhasil dikuasai. Padahal, Persia masih berdiri sebagai kekaisaran yang berdaulat. Ia masih mempunyai seorang kaisar yang hidup. Tak heran bila orang-orang Persia itu selalu merongrong umat Islam.
“Tak mungkin ada dua kekuasaan bersatu dalam satu wilayah, salah satu pasti harus keluar. Kalau saja Anda mengizinkan kami menaklukkan mereka seluruhnya, barulah akan berhenti makar mereka dan selesai sudah urusan itu,” kata Ahnaf.
Sejenak Umar termenung mendengar uraian itu, lalu berkata, “Engkau benar wahai Ahnaf. Kini terbuka sudah hal-hal yang belum terjangkau oleh akalku tentang kaum itu.”
Kaderisasi yang dilakukan oleh Umar berhasil mencetak pemuda Muslim yang berkarakter. Penggemblengan tersebut tak lain adalah implementasi dari nilai dan prinsip-prinsip Islam yang luhur.
(Agung Sasongko)
Sumber : Republika.co.id