Di masa lalu, banjir yang cukup besar dan diingat tentu saja di akhir bulan September 1907. Banjir ini, mengutip Algemeen Handelsblad, 26-10-1907, menyebabkan satu orang tewas dan banyak ternak tenggelam. Kerugian ditaksir sebesar 2 ton emas.
Kemudian hari, banjir ini menjadi salah satu dalih bagi pimpinan Padang saat itu meminta ‘B.O.W’ (Burgerlijke Openbare Werken) atau Dinas Pekerjaan Umum, untuk mendesain tata kota berbasis pengendalian banjir.
Dalam laporan B. O. W. Selama tahun 1911 sampai 1913, untuk mengatasi banjir, maka mesti melakukan tiga hal yakni, menggali saluran drainase, mendorong air di Batang Arau agar masuk ke saluran drainase, dan memanfaatkan drainase tersebut untuk jalan atau lalu lintas.
Jadi, sebagaimana ditulis di Indisch Bouwkundig Tijdschrift, 28 Februari 1917, pada mulut kanal dikunci, diikuti dengan pembangunan pintu air untuk kebutuhan sawah dan usaha di Alai.
Saat bersamaan, saluran drainase (kanal) juga dibangun antara Lubuk Begalung dengan Purus.
Kanal besar juga dibangun, namun dalam penggaliannya mengalami kesulitan karena persoalan tanah dan air hujan.
Kanal awalnya dibangun antara Alai dengan ujung Belantung (maksudnya jalan Rasuna Said saat ini). Selanjutnya diteruskan ke Purus, mulut muara.
“Di sisi lain, lokasi di mana air dari kanal turun mengalir ke mulut Purus, sering tidak lancar setahun awal karena ada semacam gundukan tanah (gosong) di mulut muara, sehingga air kadang tertambat,” demikian penjelasan dari pihak pelaksana proyek saat itu.
Agar saluran drainase tetap memiliki kapasitas yang memadai di mulut saluran, maka diputuskan untuk mengangkut kapal pengeruk yang ditempatkan di mulut Batang Arau, melalui pelabuhan layanan pelabuhan ke Purus.
“Sampai dua kali, ia berusaha menarik kapal pengeruk ini ke arah laut yang tinggi melintasi bukit pasir, namun saat tiba di sana selalu ganjalan,” tulis Indisch Bouwkundig Tijdschrift.