Membagi kebahagiaan kepada seseorang (dhuafa), sedekah semesta yang mencerahkan hati dan hari.
Suatu hari, pink cerita rencana liburan bersama teman-teman. Hanya ada satu anak yang tidak bicara mau kemana. Maka si pink bilang ke ayahnya, bagaimana kalau ajak si jilbab biru itu ikutan liburan. Sahabat saya, papanya, mengatakan, ini usul yang baik. Kita harus bersedekah kebahagiaan kepada orang kurang mampu. Sedekah itu, katanya kepada saya, bisa dengan cara mengajak mereka menikmati kebahagiaan bersama keluarga kita, dengan niat ia seperti bagian dari keluarga kita.
Mengajak sahabat anaknya ini liburan, katanya, bagian dari pendidikan kepada anak. Bahwa, kita harus mau berbagi kebahagiaan dengan orang lain, terutama keluarga miskin. Kebaikan harus ditanam dengan cara membuktikan inilah salah satu hakikat kebaikan itu. Sedekah, membantu orang, tidak melulu soal memberi sejumlah uang. Tapi, ngajak orang dhuafa makan siang bersama satu meja dengan kita, liburan satu pesawat dan hotel dengan keluarga kita, adalah bentuk lain, perluasan hati yang membahagiakan karena spirit berbagi.
Terpenting mengajak si jilbab biru, bahwa dia merasa diajak bukan karena dia miskin. Sahabat saya mengatakan, perlu ditegaskan kepada dirinya, ini karena dia juara kelas. Artinya, dengan cara ini, ia merasa bangga, ternyata prestasinya dapat penghargaan liburan dari keluarga sahabat satu kelasnya si pink. Setidaknya, ia merasa punya harga diri. Bukan karena miskin, tapi karena prestasi.
Terpenting mengajak si jilbab biru, bahwa dia merasa diajak bukan karena dia miskin. Sahabat saya mengatakan, perlu ditegaskan kepada dirinya, ini karena dia juara kelas. Artinya, dengan cara ini, ia merasa bangga, ternyata prestasinya dapat penghargaan liburan dari keluarga sahabat satu kelasnya si pink. Setidaknya, ia merasa punya harga diri. Bukan karena miskin, tapi karena prestasi.
Dalam penerbangan ke Jakarta, di atas pesawat, saya tak semangat membaca novel yang baru beberapa halaman telah saya baca. Saya tercenung dengan kisah dua sahabat satu kelas ini. Entah kenapa, di kepala saya wajah gadis kecil jilbab biru itu membayang begitu lekat. Saya tiba-tiba justru membayangkan ayahnya yang buruh, ibunya yang tukang cuci, sedang merasa bahagia, karena anaknya bisa liburan.
Saya membayangkan, sahabat saya itu, dalam kelimpahan rezeki yang mengalir dalam doa tulus si buruh dan tukang cuci.
Ketika sampai di Bandara Soekarno-Hatta, di Jakarta, saya melihat si pink dan si jilbab biru turun tangga pesawat bersisian. Wajah jilbab biru mulai berseri. Mungkin, ia sedang merasakan hari paling bermakna dalam hidupnya, yang akan dikenangnya sampai dewasa nanti. Mungkin, ia sedang berpikir, menyusun cerita sepulang liburan, untuk diceritakan kepada ayah dan ibunya, betapa dahsyatnya liburan naik pesawat dan menginap di hotel berbintang serta mengunjungi tempat hiburan.
Saya berpikir, mudah-mudahan, gadis kecil berjilbab biru ini, berpikir hebat, kalau ia sedang menikmati paket liburan juara kelas yang masuk melalui jalur sedekah kebahagiaan dari keluarga sahabat baiknya.
Mungkin karena saya gampang haru, mata saya berkaca-kaca. Saya jadi ingin memeluk si jilbab biru, dan menyelipkan sedikit uang ke tangannya untuk tambahan jajan liburannya bersama keluarga baik hati itu. (*)
Mungkin karena saya gampang haru, mata saya berkaca-kaca. Saya jadi ingin memeluk si jilbab biru, dan menyelipkan sedikit uang ke tangannya untuk tambahan jajan liburannya bersama keluarga baik hati itu. (*)