Membagi kebahagiaan kepada seseorang (dhuafa), sedekah semesta yang mencerahkan hati dan hari.
Suatu hari, di Bandara Internasional Minangkabau, saya menunggu jam terbang menuju Jakarta. Ruang tunggu keberangkatan, terlihat ramai dari biasa. Karena ternyata, hari itu, hari pertama libur baru saja berlangsung.
Sambil membaca sebuah novel sastra, tiba-tiba telinga saya mendengar percakapan yang asyik, yang saat itu terasa lebih seru dari dialog novel yang sedang saya baca. Percakapan dua anak sekolah dasar (SD), yang duduk di samping saya. Saya menoleh kepada dua anak ini. Yang satu mengenakan kaos berwarna pink dengan sweater hitam, dan yang satu lagi, tepatnya yang di sebelah saya, mengenakan baju putih lengan panjang dengan jilbab warna biru.
Sambil membaca sebuah novel sastra, tiba-tiba telinga saya mendengar percakapan yang asyik, yang saat itu terasa lebih seru dari dialog novel yang sedang saya baca. Percakapan dua anak sekolah dasar (SD), yang duduk di samping saya. Saya menoleh kepada dua anak ini. Yang satu mengenakan kaos berwarna pink dengan sweater hitam, dan yang satu lagi, tepatnya yang di sebelah saya, mengenakan baju putih lengan panjang dengan jilbab warna biru.
“Nanti sampai di Jakarta, kata papaku, kita langsung ke hotel. Pokoknya, liburan kita bakal asyik. Kita juga akan pergi ke Bandung, dan hotelnya sudah dipesan papaku. Pokoknya, kamu gak usah malu-malu. Kata mama, anggap saja, aku, papa dan mamaku, adalah keluarga kamu….” Kata gadis kecil berbaju pink.
Saya mulai menangkap siapa mereka sesungguhnya. Si pink, dari pembicaraan barusan, adalah orang yang mengajak si jilbab biru, pergi liburan. Sepertinya, gadis kecil berjilbab biru ditraktir liburan oleh keluarga si pink.
“Aku belum pernah naik pesawat. Aku agak cemas,” kata si jilbab biru tiba-tiba. Si pink kulihat tertawa, dan menjelaskan, “Mulanya aku juga begitu. Sampai sekarang, aku juga masih takut. Tapi, kata mama, naik pesawat itu, insya Allah, lebih aman. Oya, nanti di pesawat kita dikasih sarapan sama tante pramugari,” kata si pink.
Lalu, si pink memaparkan pengalamannya beberapa kali naik pesawat. Tampaknya, cerita si pink mengasyikkan, sehingga jilbab biru yang sedari tadi terlihat risau, mulai agak tenang.
Sesaat kemudian, keduanya terdiam. Kulihat gadis kecil jilbab biru, matanya menerawang kosong ke depan. Sementara si pink, tampak tenang-tenang saja. Tak lama si pink berdiri, menghampiri mamanya, yang duduk tak jauh di deretan kursi agak ke depan. Si jilbab biru tinggal sendiri, ia berada di sampingku.
“Tadi itu adiknya atau kakaknya,” tanyaku pada si jilbab biru.
Gadis kecil ini menatapku, lalu menjawab lemah, “Teman sekelasku.”
“O teman sekelas. Sama-sama pergi liburan ya?” ulasku lagi.
Dia tersenyum. Kemudian mengangguk.
Tak lama, si pink datang. Mereka duduk berdua, bersisian lagi. Tapi kali ini lebih banyak diam.
Tak lama, si pink datang. Mereka duduk berdua, bersisian lagi. Tapi kali ini lebih banyak diam.
“Kok diam aja sih?” tanya si pink.
Jilbab biru men jawab, “Waktu mau berangkat tadi, ibu memelukku. Ibu menangis. Ia bilang, sampaikan terima kasih pada papa dan mamamu, yang mau ajak aku ikut liburan bersama keluarga kalian karena aku juara kelas. Kalau dari uang ibu, tak mungkin aku bisa ke Jakarta. Naik pesawat. Mana mungkin kata ibu, upah cuci, upah buruh bangunan ayah, bisa kasih uang liburan. Untuk bisa sekolah di sekolah favorit saja, aku sudah syukur….”
Tiba-tiba novel yang sedang kupegang, kehilangan greget ceritanya mendengar dialog dua anak ini. Ternyata, si pink, teman sekelas si jilbab biru. Jilbab biru, anak tukang cuci dan buruh bangunan. Si pink, keluarga mampu, berada secara ekonomi, mengajak si jilbab biru liburan bersama keluarganya. Ini kisah yang mengharukan bagi saya. Saya ingin tahu alasan mengajak anak tukang cuci liburan itu apa? Namun, rasanya juga nggak enak bertanya langsung kepada si pink.
Tiba-tiba seorang laki-laki setengah baya menghampiri dua anak itu. Sebelum laki-laki setengah baya ini bicara dengan anaknya berbaju pink, ia menoleh ke saya. Kami sama-sama terkejut. Ternyata, ayah si pink sahabat baik saya.
Dari sang ayah, saya dapat cerita. Si jilbab biru, teman sekelas anaknya. Jilbab biru, dari keluarga kurang mampu. Dia juara 1 di sekolah favorit, di kelas unggul. Anaknya, si pink cuma masuk 10 besar.
Bersambung…