Seolah sudah menjadi tradisi, Lebaran bukan hanya dijadikan ajang silahturahmi bagi umat muslim dengan mengunjungi tetangga dan keluarga, tapi juga dijadikan kebiasaan untuk meminta tunjangan hari raya (THR) bagi anak-anak dan orangtua.
“Ya, sebelum Lebaran kemarin sudah menukar uang pecahan Rp2000 dan Rp5000. Seperti ini, tiap tahun banyak anak-anak yang keliling. Mereka bukan datang mencicipi kue Lebaran, tapi mengharapkan THR,” kata Mariani (43), warga Tanjungkarang Barat, sambil tertawa
Terkadang, kata dia, bukan hanya anak-anak yang meminta THR, orangtua juga ikut-ikutan meminta tunjangan yang tidak jelas kapan mulai maraknya.
“Tapi, seru-seruan saja. Kita kasih anak-anak, orangtuanya juga kasih anak kita THR. Sekedar memeriahkan Lebaran saja,” kata Evita (42), warga lainnya menimpali.
Sementara, Rudi (10), warga Tanjungkarang Pusat, Bandar Lampung, yang terlihat bergerombol bersama teman-temannya, mengaku sudah mendapatkan uang Rp142 ribu. “Lumayan om, ada yang kasih lima ribu, ada yang kasih dua ribu. Kalau dari tetangga yang kenal dan beruang, ada yang kasih Rp20 ribu,” kata bocah yang mengaku naik ke kelas lima SD itu.
THR yang diberikan setiap menejelang Lebaran, pertama kali dimulai pada era kabinet Soekiman Wirjosandjojo dari Partai Masyumi. Kabinet tersebut dilantik oleh Presiden Soekarno pada April 1951. Salah satu program kerja kabinet Soekiman adalah meningkatkan kesejahteraan pamong pradja (kini pegawai negeri sipil).
Menurut Saiful Hakam, peneliti muda LIPI, kabinet Soekiman membayarkan tunjangan kepada pegawai di akhir Ramadan sebesar Rp125 (waktu itu setara dengan US$11, sekarang setara Rp1,1 juta) hingga Rp200 (US$17,5, sekarang setara Rp1,75 juta).
“Bukan hanya itu, mula-mula kabinet ini juga memberikan tunjangan beras setiap bulannya,” kata Hakam, dilansir dari berbagai sumber.
(Klik Positif)